Powered By Blogger

Drug Information Center

Drug Information Center
Salam Farmasi

Rabu, 20 Januari 2010

BAHAYA PENGGUNAAN FENITOIN PADA MASA KEHAMILAN



Beberapa jenis obat dapat menembus plasenta dan mempengaruhi janin dalam uterus, baik melalui efek farmakologik maupun efek teratogeniknya. Secara umum faktor-faktor yang dapat mempengaruhi masuknya obat ke dalam plasenta dan memberikan efek pada janin adalah:

(1) Sifat fisikokimiawi dari obat

(2) Kecepatan obat untuk melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin

(3) Lamanya pemaparan terhadap obat

(4) Bagaimana obat didistribusikan ke jaringan-jaringan yang berbeda pada janin

(5) Periode perkembangan janin saat obat diberikan dan

(6) Efek obat jika diberikan dalam bentuk kombinasi.

Fenitoin merupakan obat antiepilepsi yang pemakaiannya sangat luas, namun mempunyai efek teratogenik. Fenitoin termasuk obat kategori D yaitu obat-obat yang terbukti menyebabkan meningkatnya kejadian malformasi janin pada manusia atau menyebabkan kerusakan janin yang bersifat ireversibel (tidak dapat membaik kembali). Obat-obat dalam kategori ini juga mempunyai efek farmakologik yang merugikan terhadap janin. Angka malformasi total pada 305 anak yang dilahirkan oleh ibu tanpa epilepsi adalah 6,4%. Prosentase malformasi akibat penggunaan Fenitoin pada masa kehamilan adalah 30%.

Pemberian obat antiepilepsi selalu dimulai dengan dosis rendah, dinaikkan bertahap sampai epilepsi terkendali dan terjadi efek kelebihan dosis. Frekuensi pemberian biasanya didasarkan atas waktu paruh plasma. Obat yang mempunyai waktu paruh lama, seperti fenitoin, dapat diberikan sehari sekali menjelang tidur. Kadang obat diberikan dalam 3 kali dalam sehari untuk menjaga agar kadar plasmanya tidak terlalu tinggi sehingga terhindar dari efek sampingnya.

Penggunaan Fenitoin dapat mengakibatkan terjadinya sindrom hidantoin fetus. Sindrom ini pertama kali diperkenalkan oleh Hanson dan Smith (1975) untuk menggambarkan pola abnormalitas yang diamati pada neonatus, dimana ibu epilepsi yang hamil diberikan obat fenitoin, biasanya dikombinasi dengan fenobarbital. Sindrom ini terdiri dari abnormalitas kraniofasial, kelainan anggota gerak, defisiensi pertumbuhan, retardasi mental baik ringan atau sedang. Studi prospektif dari 35 bayi pada prenatal diberi obat golongan Hidantoin ditemukan bahwa 11% mempunyai gambaran sebagai sindroma ini.

Konsentrasi obat antiepilepsi dalam plasma wanita hamil yang melahirkan bayi malformasi selalu lebih tinggi daripada kadar obat antiepilepsi pada wanita epilepsi hamil yang melahirkan tanpa malformasi. Para wanita epilepsi yang hamil dengan menggunakan berbagai jenis obat antiepilepsi lebih mudah melahirkan bayi dengan malformasi daripada wanita epilepsi yang hamil memakai obat epilepsi tunggal.

Perubahan fisiologis yang dinamis terjadi pada tubuh seorang wanita hamil karena terbentuknya unit fetal-plasentalmaternal. Keadaan ini mempengaruhi profil farmakokinetika obat baik dari segi absorbsi, distribusi, maupun eliminasinya.

1. Absorpsi

Pada awal kehamilan akan terjadi penurunan sekresi asam lambung hingga 30-40%. Hal ini menyebabkan pH asam lambung sedikit meningkat, sehingga obat-obat yang bersifat asam lemah akan sedikit mengalami penurunan absorpsi. Sebaliknya untuk obat yang bersifat basa lemah absorpsi justru meningkat. Fenitoin merupakan obat asam lemah sehingga absorpsinya dalam lambung pada awal kehamilan akan menurun. Akan tetapi, pada fase selanjutnya akan terjadi penurunan motilitas gastrointestinal. Hal ini menyebabkan absorpsi obat-obat yang sukar larut akan meningkat, sedang absorpsi obat-obat yang mengalami metabolisme di dinding usus, seperti misalnya klorpromazin akan menurun. Fenitoin sukar larut dalam air (lipofil) sehingga absorpsinya pada fase ini akan meningkat.

2. Distribusi

Selama masa akhir kehamilan akan terjadi perubahan kadar protein berupa penurunan albumin serum sampai 20%. Perubahan ini semakin menyolok pada keadaan pre-eklamsia, di mana kadar albumin turun sampai 34% dan glikoprotein meningkat hingga 100%.

Diketahui bahwa obat asam lemah terikat pada albumin, dan obat basa lemah terikat pada alfa-1 glikoprotein. Konsekuensi, fraksi bebas obat-obat yang bersifat asam akan meningkat, sedangkan fraksi bebas obat-obat yang bersifat basa akan menurun. Fenitoin merupakan obat asam lemah sehingga fraksi obat bebas ini terbukti meningkat secara bermakna pada akhir kehamilan.

Protein plasma janin mempunyai afinitas yang lebih rendah dibandingkan protein plasma ibu terhadap obat-obatan. Albumin plasma ibu akan menurun selama kehamilan sementara albumin janin akan meningkat. Proses yang dinamis ini akan menghasilkan perbedaan rasio albumin janin dan ibu pada usia kehamilan yang berbeda. Obat-obat yang tidak terikat (bebas) adalah yang mampu melewati sawar plasenta. Kemampuan obat untuk melintasi plasenta tergantung pada sifat lipofilik dan ionisasi obat. Obat yang mempunyai lipofilik tinggi cenderung untuk segera terdifusi ke dalam sirkulasi janin. Karena Fenitoin bersifat lipofilik maka obat ini cenderung cepat terdifusi ke dalam sirkulasi janin.

Kecepatan dan jumlah obat yang dapat melintasi plasenta juga ditentukan oleh berat molekul. Obat-obat dengan berat molekul 250-500 dapat secara mudah melintasi plasenta, tergantung pada sifat lipofiliknya, sedangkan obat dengan berat molekul > 1000 sangat sulit menembus plasenta. Fenitoin memiliki berat molekul 252,27 sehingga secara mudah dapat melintasi plasenta.

Fenitoin (difenilhidantoin) dapat melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin setelah pemberian dosis terapetik secara intravenosa. Dosis tertinggi pada janin ditemukan dalan hepar, jantung, dan glandula adrenal. Pada wanita hamil yang mendapat pengobatan Fenitoin jangka panjang, kadar Fenitoin dalam sirkulasi janin sama dengan kadarnya dalam sirkulasi ibu.

3. Eliminasi

Pada akhir masa kehamilan akan terjadi peningkatan aliran darah ginjal sampai dua kali lipat. Sebagai akibatnya, akan terjadi peningkatan eliminasi obat-obat terutama yang mengalami ekskresi di ginjal. Dengan meningkatnya aktivitas mixed function oxidase, suatu sistem enzim yang paling berperan dalam metabolisme hepatal obat, maka metabolisme obat-obat tertentu yang mengalami oksidasi dengan cara ini (misalnya fenitoin. fenobarbital, dan karbamazepin) juga meningkat, sehingga kadar obat tersebut dalam darah akan menurun lebih cepat, terutama pada trimester kedua dan ketiga.

Untuk itu, pada keadaan tertentu mungkin diperlukan menaikkan dosis agar diperoleh efek yang diharapkan. Waktu paruh fenitoin pada bayi baru lahir sekitar 60-70 jam dan obat masih didapat dalam plasma bayi, hingga hari ke lima setelah kelahiran.

Pemakaian obat selama hamil sebaiknya memang dihindari, akan tetapi bagi tubuh yang sakit dan kondisi sakit akan bertambah parah jika terus dibiarkan, maka pengobatan adalah jalan yang terbaik. Ketepatan dalam pemilihan obat diperlukan untuk mengurangi sekecil mungkin efek samping merugikan yang dapat timbul. Pemberian obat harus mengacu pada tujuan pengobatan dan kedaruratan pemberian, pola terapi yang bersifat rasional, efektif, aman dan ekonomis, dapat dijangkau jika dalam pengobatan dipakai prinsip “Panca Tepat” :

1. Diagnosis penyakit yang tepat.

2. Pemilihan jenis obat yang tepat.

3. Dosis, lama pemberian, dan interval pemberian yang tepat.

4. Memperhatikan patologi dan perlangsungan penyakit secara tepat.

5. Pengawasan dan penanganan efek dan efek samping obat secara tepat.

Oleh karena itu seorang dokter dan apoteker haruslah bijaksana dalam menentukan terapi yang terbaik untuk kepentingan ibu dan janin.


Daftar Pustaka

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, edisi IV, 670, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

Anonim, 2007, Farmakoterapi pada Kehamilan, http://www.farklin.com, diakses tanggal 5 Maret 2009

Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia, 153, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

Japardi, Iskandar, 2002, Epilepsi pada kehamilan, http://library.usu.ac.id, diakses tanggal 9 Maret 2009

Nindya, Stefani, 2001, Perubahan farmakokinetik obat pada Wanita Hamil dan Implikasinya secara Klinik, http://ojs.lib.unair.ac.id, diakses tanggal 5 Maret 2009

Susilo, Yudi Hardi, 2008, Masalah Pemakaian Obat Selama Hamil, http://www.yudihardis.com, diakses tanggal 9 Maret 2009

Perubahan Farmakokinetika Obat pada saat Kehamilan


Perubahan Farmakokinetika Obat pada saat Kehamilan

Pada masa kehamilan, perubahan fisiologis akan terjadi secara dinamis, hal ini dikarenakan terbentuknya unit fetal-plasental-maternal. Karena perubahan fisiologis inilah maka farmakokinetika obat baik absorpsi, distribusi, metabolisme maupun ekskresi pun ikut berubah. Perubahan-perubahan yang terjadi tersebut antara lain perubahan fungsi saluran cerna, fungsi saluran nafas, dan peningkatan laju filtrasi glomerulus pada ginjal.
Suatu penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan obat dapat melewati sawar plasenta dengan mudah, sehingga janin yang dikandung pun ikut menerima obat.
Respon ibu dan janin terhadap obat selama kehamilan dipengaruhi oleh dua faktor utama:
1) Perubahan absorbsi, distribusi, dan eliminasi obat dalam tubuh wanita hamil.
2) unit plasental-fetal yang mempengaruhi jumlah obat yang melewati sawar plasenta, persentase obat yang dimetabolisme oleh plasenta, distribusi dan eliminasi obat oleh janin.

I. Perubahan Farmakokinetika Obat Akibat Perubahan Maternal
1. Absorbsi saluran cerna
Pada wanita hamil terjadi penurunan sekresi asam lambung (40% dibandingkan wanita tidak hamil), disertai peningkatan sekresi mukus, kombinasi kedua hal tersebut akan menyebabkan peningkatan pH lambung dan kapasitas buffer. Secara klinik hal ini akan mempengaruhi ionisasi asam-basa yang berakibat pada absorbsinya.
2. Absorbsi paru
Pada kehamilan terjadi peningkatan curah jantung, tidal volume, ventilasi, dan aliran darah paru. Perubahan-perubahan ini mengakibatkan peningkatan absorbsi alveolar, sehingga perlu dipertimbangkan dalam pemberian obat inhalan.
3. Distribusi
Volume distribusi obat akan mengalami perubahan selama kehamilan akibat peningkatan jumlah volume plasma hingga 50%. Peningkatan curah jantung akan berakibat peningkatan aliran darah ginjal sampai 50% pada akhir trimester I, dan peningkatan aliran darah uterus yang mencapai puncaknya pada aterm (36-42 L/jam); 80% akan menuju ke plasenta dan 20% akan mendarahi myometrium. Akibat peningkatan jumlah volume ini, terjadi penurunan kadar puncak obat (Cmax) dalam serum.
4. Pengikatan protein
Sesuai dengan perjalanan kehamilan, volume plasma akan bertambah, tetapi tidak diikuti dengan peningkatan produksi albumin, sehingga menimbulkan hipoalbuminemia fisiologis yang mengakibatkan kadar obat bebas akan meningkat. Obat-obat yang tidak terikat pada protein pengikat secara farmakologis adalah obat yang aktif, maka pada wanita hamil diperkirakan akan terjadi peningkatan efek obat.
5. Eliminasi oleh hati
Fungsi hati dalam kehamilan banyak dipengaruhi oleh kadar estrogen dan progesteron yang tinggi. Pada beberapa obat tertentu seperti phenytoin, metabolisme hati meningkat mungkin akibat rangsangan pada aktivitas enzim mikrosom hati yang disebabkan oleh hormon progesteron; sedangkan pada obat-obatan seperti teofilin dan kafein, eliminasi hati berkurang sebagai akibat sekunder inhibisi komfetitif dari enzim oksidase mikrosom oleh estrogen dan progesterone.
6. Eliminasi ginjal
Pada kehamilan terjadi peningkatan aliran plasma renal 25-50%. Obat-obat yang dikeluarkan dalam bentuk utuh dalam urin seperti penisilin, digoksin, dan lithium menunjukkan peningkatan eliminasi dan konsentrasi serum steady state yang lebih rendah.

II. Efek kompartemen fetal-plasental
Jika pemberian obat menghasilkan satu kesatuan dosis maupun perbandingan antara kadar obat janin: ibu maka dipakai model kompartemen tunggal. Tetapi jika obat lebih sukar mencapai janin maka dipakai model dua kompartemen di mana rasio konsentrasi janin: ibu akan menjadi lebih rendah pada waktu pemberian obat dibandingkan setelah terjadi distribusi.
1. Efek protein pengikat
Protein plasma janin mempunyai afinitas yang lebih rendah dibandingkan protein plasma ibu terhadap obat-obatan. Tetapi ada pula obat-obatan yang lebih banyak terikat pada protein pengikat janin seperti salisilat. Obat-obat yang tidak terikat (bebas) adalah yang mampu melewati sawar plasenta.
2. Keseimbangan asam-basa
Molekul yang larut dalam lemak dan tidak terionisasi menembus membran biologis lebih cepat dibandingkan molekul yang kurang larut dalam lemak dan terionisasi selain itu PH plasma janin sedikit lebih asam dibandingkan ibu. Dengan demikian basa lemah akan lebih mudah melewati sawar plasenta. Tetapi setelah melewati plasenta dan mengadakan kontak dengan darah janin yang relatif lebih asam, molekul-molekul akan lebih terionisasi. Hal ini akan berakibat penurunan konsentrasi obat pada janin dan menghasilkan gradien konsentrasi. Fenomena ini dikenal sebagai ion trapping.
3. Eliminasi obat secara feto-placental drug eliminaton
Terdapat bukti-bukti bahwa plasenta manusia dan fetus mampu memetabolisme obat. Semua proses enzimatik, termasuk fase I dan fase II telah ditemukan pada hati bayi sejak 7 sampai 8 minggu pasca pembuahan tetapi proses tersebut belum matang, dan aktivitasnya sangat rendah. Kemampuan eliminasi yang berkurang dapat menimbulkan efek obat yang lebih panjang dan lebih menyolok pada janin. Sebagian besar eliminasi obat pada janin dengan cara difusi obat kembali ke kompartemen ibu. Tetapi kebanyakan metabolit lebih polar dibandingkan dengan asal-usulnya sehingga kecil kemungkinan mereka akan melewati sawar plasenta, dan berakibat penimbunan metabolit pada jaringan janin. Dengan pertambahan usia kehamilan, makin banyak obat yang diekskresikan ke dalam cairan amnion, hal ini menunjukkan maturasi ginjal janin.
4. Keseimbangan Obat Maternal-fetal
Jalur utama transfer obat melalui plasenta adalah dengan difusi sederhana. Obat yang bersifat lipofilik dan tidak terionisasi pada pH fisiologis akan lebih mudah berdifusi melalui plasenta. Kecepatan tercapainya keseimbangan obat antara ibu dan janin mempunyai arti yang penting pada keadaan konsentrasi obat pada janin harus dicapai secepat mungkin, seperti pada kasus-kasus aritmia atau infeksi janin intrauterin, karena obat diberikan melalui ibunya.

III. Mekanisme Transfer Obat melalui Plasenta
Obat-obatan yang diberikan kepada ibu hamil dapat menembus sawar plasenta sebagaimana halnya dengan nutrisiyang dibutuhkan janin, dengan demikian obat mempunyai potensi untuk menimbulkan efek pada janin. Perbandingan konsentrasi obat dalam plasma ibu dan janin dapat memberi gambaran pemaparan janin terhadap obat-obatan yang diberikan kepada ibunya.
Waddell dan Marlowe (1981) menetapkan bahwa terdapat 3 tipe transfer obat-obatan melalui plasenta sebagai berikut:
· Tipe I
Obat-obatan yang segera mencapai keseimbangan dalam kompartemen ibu dan janin, atau terjadi transfer lengkap dari obat tersebut. Yang dimaksud dengan keseimbangan di sini adalah tercapainya konsentrasi terapetik yang sama secara simultan pada kompartemen ibu dan janin.
· Tipe II
Obat-obatan yang mempunyai konsentrasi dalam plasma janin lebih tinggi daripada konsentrasi dalam plasma ibu atau terjadi transfer yang berlebihan. Hal ini mungkin terjadi karena transfer pengeluaran obat dari janin berlangsung lebih lambat.
· Tipe III
Obat-obatan yang mempunyai konsentrasi dalam plasma janin lebih rendah daripada konsentrasi dalam plasma ibu atau terjadi transfer yang tidak lengkap.

Faktor-faktor yang mempengaruhi transfer obat melalui plasenta antara lain adalah:
- Berat molekul obat.
Pada obat dengan berat molekul lebih dari 500D akan terjadi transfer tak lengkap melewati plasenta.
- PKa (pH saat 50% obat terionisasi).
- Ikatan antara obat dengan protein plasma.
Mekanisme transfer obat melalui plasenta dapat dengan cara difusi, baik aktif maupun pasif, transport aktif, fagositosis, pinositosis, diskontinuitas membran dan gradien elektrokimiawi.

DAFTAR PUSTAKA
Ganiswara, SG., 1995, Farmakologi dan terapi, Edisi ke 4, 728-59, Farmakologi FKUI, Jakarta
Nindya, S., 2001, www.cerminduniakedokteran.com Perubahan Farmakokinetik Obat pada Wanita Hamil dan Implikasinya secara Klinik, diakses tanggal 10 Maret 2009



OBAT - OBAT YANG BEKERJA PADA SALURAN CERNA
Nama Obat Kemasan

• ACIDRINE Tablet kunyah 40 biji.
• ACITRAL LIQUID Cairan 120 mL.
• ACITRAL TABLET Tablet 25 x 4 butir.
• ACPULSIF 5 mg. Tab 5 mg x 5 x 10 biji.
• AEROSON Tablet 40 mg x 5 x 10 biji.

• ALBOTHYL Konsentrasi 360 mg/gram x 10 mL.
• ALBOTHYL Konsentrasi 360 mg/gram x 100 mL.
• ALDACTONE Tablet 25 mg x 100 biji.
• ALDIN 150 mg. Tablet 150 mg x 30 biji.
• ALLOPURINOL 100 MG TAB OGB DEXA Tablet 100 mg x 100 biji.

• ALMACON Tablet 100 biji.
• ALUDONNA D Tablet kunyah 160 tablet.
• ALUDONNA D Suspensi 150 ml.
• ALUDONNA Suspensi 150 ml.
• ALUDONNA Tablet 100 biji.

• AMEROL Tablet 2 mg x 3 x 8
• AMILORIDE 5 MG TAB (OGB) KTK 100 S
• AMINOFUSIN HEPAR Infus 500 ml x 1's
• AMITRIPTYLINE 25 MG TAB Box 100 tablet
• AMOBIOTIC Kapsul 500 mg x 100 biji.

• AMPICILLIN 250 MG KAPLET OGB DEXA Kaplet 250 mg x 100 biji.
• ANDIKAP Kapsul 25 x 6 biji.
• ANDIKAP Kapsul 6 biji.
• ANTASIDA DOEN Kotak isi 100 tablet.
• ANTI-MAAG Tablet 10 x 10 biji.

• ANTI-MAAG TABLET (NP) Tablet 100 biji.
• ANTIDIA Tablet 2 mg x 10 x 10.
• ARCAPEC Tablet 10 x 10 biji.
• ARCAPEC Suspensi kering 60 ml.
• ASCOPLEX Kapsul 100 biji.

• ASIDRAT 800 Tablet kunyah 100 biji.
• ASIDRAT SUSPENSI Suspensi 100 ml.
• ATROPIN 0,25 MG/ML INJ (OGB) Injeksi 0,25 mg/ml x 30 ampul @1 mL
• ATROPIN 0,5 MG (OGB) Botol isi 500 tablet.
• ATROPINI SULFAS Ampul 250 µg/ml x 1 ml x 30

• BEKARBON Tablet 250 mg x 750
• BENOFAT Tablet 500 mg x 10 x 10 biji.
• BENOFAT Kaptab 1000 mg x 10 x 10 biji.
• BENOZYM Tablet salut gula 10 x 10 biji.
• BERZYMPLEX Tablet salut gula 10 x 10 biji.

• BETADINE OINTMENT 10 GRAM Salep 10 gram.
• BETALANS Kapsul 30 mg x 2 x 10 biji.
• BIO-EPL Kapsul 100 biji.
• BIODIAR Tablet 630 mg x 5 x 10
• BIODIAR Tablet 630 mg x 25 x 4 biji.

• BIOGASTRON Tablet 100 biji.
• BIOVISION 100 Box isi 100 kapsul.
• BIOVISION 30 Box isi 30 kapsul.
• BUSCOPAN Ampul 20 mg/ml x 10 biji.
• BUSCOPAN Tablet salut gula 10 mg x 100 biji.

• BUSCOPAN PLUS Tablet 25 x 4 biji.
• CALCIUM D REDOXON Tablet effervescent 10 biji.
• CANTIL Tablet 25 mg x 10 x 10
• CEFOTAXIM 1 GR INJ OGB DEXA Vial 1 gram x 2 biji.
• CELLACORT Tablet 10 x 10 biji.

• CHOPINTAC Tablet salut selaput 150 mg x 3 x 10.
• CHOPINTAC FORTE Kaplet salut selaput 300 mg x 3 x 10 biji.
• CIMET Tablet 200 mg x 50 biji.
• CIMETIDINE 200 MG OGB Tablet 200 mg x 100 biji.
• CODIPRONT ( N ) Kapsul 10 biji.

Rabu, 13 Januari 2010

Stroke

Strok (bahasa Inggris: stroke) adalah suatu kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke suatu bagian otak tiba-tiba terganggu. Dalam jaringan otak, kurangnya aliran darah menyebabkan serangkaian reaksi bio-kimia, yang dapat merusakkan atau mematikan sel-sel otak. Kematian jaringan otak dapat menyebabkan hilangnya fungsi yang dikendalikan oleh jaringan itu. Strok adalah penyebab kematian yang ketiga di Amerika Serikat dan banyak negara industri di Eropa (Jauch, 2005). Bila dapat diselamatkan, kadang-kadang si penderita mengalami kelumpuhan pada anggota badannya, hilangnya sebagian ingatan atau kemampuan bicaranya. Untuk menggarisbawahi betapa seriusnya strok ini, beberapa tahun belakangan ini telah semakin populer istilah serangan otak. Istilah ini berpadanan dengan istilah yang sudah dikenal luas, "serangan jantung". strok terjadi karena cabang pembuluh darah terhambat oleh emboli. emboli bisa berupa kolesterol atau mungkin udara

Jenis strok

Strok dibagi menjadi dua jenis yaitu strok iskemik maupun strok hemorragik. Pada strok iskemik, aliran darah ke otak terhenti karena aterosklerosis (penumpukan kolesterol pada dinding pembuluh darah) atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh darah ke otak. Hampir sebagian besar pasien atau sebesar 83% mengalami strok jenis ini.

Pada strok hemorragik, pembuluh darah pecah sehingga menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah di otak dan merusaknya. Hampir 70 persen kasus strok hemorrhagik terjadi pada penderita hipertensi.

Pada strok iskemik, penyumbatan bisa terjadi di sepanjang jalur pembuluh darah arteri yang menuju ke otak. Darah ke otak disuplai oleh dua arteria karotis interna dan dua arteri vertebralis. Arteri-arteri ini merupakan cabang dari lengkung aorta jantung.

Suatu ateroma (endapan lemak) bisa terbentuk di dalam pembuluh darah arteri karotis sehingga menyebabkan berkurangnya aliran darah. Keadaan ini sangat serius karena setiap pembuluh darah arteri karotis dalam keadaan normal memberikan darah ke sebagian besar otak. Endapan lemak juga bisa terlepas dari dinding arteri dan mengalir di dalam darah, kemudian menyumbat arteri yang lebih kecil.

Pembuluh darah arteri karotis dan arteri vertebralis beserta percabangannya bisa juga tersumbat karena adanya bekuan darah yang berasal dari tempat lain, misalnya dari jantung atau satu katupnya. Strok semacam ini disebut emboli serebral (emboli = sumbatan, serebral = pembuluh darah otak) yang paling sering terjadi pada penderita yang baru menjalani pembedahan jantung dan penderita kelainan katup jantung atau gangguan irama jantung (terutama fibrilasi atrium).

Emboli lemak jarang menyebabkan strok. Emboli lemak terbentuk jika lemak dari sumsum tulang yang pecah dilepaskan ke dalam aliran darah dan akhirnya bergabung di dalam sebuah arteri.

Strok juga bisa terjadi bila suatu peradangan atau infeksi menyebabkan penyempitan pembuluh darah yang menuju ke otak. Obat-obatan (misalnya kokain dan amfetamin) juga bisa mempersempit pembuluh darah di otak dan menyebabkan strok.

Penurunan tekanan darah yang tiba-tiba bisa menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak, yang biasanya menyebabkan seseorang pingsan. Strok bisa terjadi jika tekanan darah rendahnya sangat berat dan menahun. Hal ini terjadi jika seseorang mengalami kehilangan darah yang banyak karena cedera atau pembedahan, serangan jantung atau irama jantung yang abnormal.

Jumat, 25 Desember 2009

Pengelolaan Hipertensi pada Diabetes Mellitus Tipe 2


Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit yang tidak dit ularkan (
Non-Communicable disease ) dan sering ditemukan di ma syarakat seluruh
dunia. Di negara berkembang DM juga sebagai penyebab kematian 4 – 5 kali
dibanding dengan penyakit lain. Insidensi DM terus meningkat secara tajam,
sampai saat ini tercatat sebanyak 177 juta penderita diabetes di seluruh dunia,
dan diperkirakan pada tahun 2025 akan didapatkan penderita diabetes sebanyak
300 juta penderita1
.
Peningkatan insidensi DM akan meningkatkan insidensi komplikasi akibat
diabetes tersebut. Dari berbagai p enelitian didapatkan ebanyak 3 0-40%
penderita DM tipe 2 (DMt2) akan mengalami kerusakan ginjal berupa nefropati
diabetik yang pada akhirnya ak an jatuh ke Gagal ginjal termi nal yang akan
memerlukan hemodialisis. Selain komplikasi pada organ ginjal ini, DM ini juga
sebagai penyebab peningkatan i nsidensi kesakitan dan kematia n penyakit
kardiovaskuler. Dengan meningkatnya insidensi DMt2 maka seca ra signifikan
akan meningkatkan pula insidensi gagal ginjal dan penyakit kardiovaskuler
2
.
Dengan demikian peningkatan in sidensi DMt2 yang signifikan a kan
meningkatkan pula insidensi gagal ginjal dan penyakit kardiovaskuler. Dengan
kondisi seperti itu maka diper lukan upaya pengelolaan dan pe ncegahan
terhadap komplikasi yang serin g menjadi suatu langkah pengelolaan yan g
strategis dan sangat penting, dengan harapan upaya tersebut dapat menunda
perkembangan terjadinya kompli kasi maupun menghambat progres itfitas
komplikasi yang sudah terjadi. Dalam tulisan ini akan diungk apkan selain
epidemiologi, dan patofisiologi hipertensi pada penderita DMt2, juga bagaimana
kiat pemilihan obat anti hipertensi pada DMt22
.

Epidemiologi
Seperti sudah diungkapkan sebe lumnya, bahwa insidensi penyak it
kardiovaskuler dan gagal ginjal terus meningkat sejalan deng an peningkatan
insidensi DMt2. Banyak cara te lah dilakukan untuk upaya penc egahan
meningkatnya insidensi tersebut, antara lain upaya mengendal ikan hipertensi
salah satu faktor resiko penyakit jantung koroner. Obat anti hipertensi yang layak
digunakan telah banyak ditawarkan pada pengel olaan hipertensi penderita DM
t2. Diharapkan dengan terkontrol dengan baik tekanan darah akan menyebabkan
pengurangan resiko penyakit ka rdiovaskuler, tetapi dari berb agai penelitian
ternyata insidensi penyakit kardiovaskuler tetap meningkat, equivalent dengan
peningkatan insidensi DMt2. Ha l ini disebabkan karena pada DMt2 masih
terdapat faktor risiko lain, selain hipertensi seperti dislipidemia, sehingga perlu
dipikirkan adanya pengelolaan faktor faktor resiko lain sela in pengelolaan
hipertensi yang baik. Dengan demikian pengelolaan faktor risiko lain seharusnya perlu dilakukan secara serta m erta bersama sama dengan penge lolaan
hipertensi dengan mencapai target terapi yang diharapkan2
.
Salah satu gambaran adalah dar i hasil penelitian EAST WEST Study
pada tahun 1998, yang mendapatkan gambaran insidensi Infark Miokard dalam
pengamatan selama 7 tahun pada populasi yang besar sebanyak 1373 penderita
infark miokard non -diabetes dan 1059 penderita in fark miokard-diabetes.
Ternyata penderita diabetes secara si gnifikan lebih banyak kejadian infark
miokard dibandingkan non diabe tes ( p < 0,0001). Hal ini men ggambarkan
bahwa selain faktor tekanan da rah yang sebagai faktor resiko penyakit
kardiovaskuler juga adanya riwayat menderita atau keadaan hiperglikemia juga
sangat besar pengaruhnya terhadap insidensi penyakit kardiovaskuler
3
.
East West Study:
Patients with Diabetes at Similar Risk to No Diabetes with MI


PROCAM:
Combination of Risk Factors Increases Risk of MI












Dalam penelitian lain, PROCAM, tahun 1988 menyimpulkan bahwa
semakin banyak factor resiko p enyakit kardiovaskuler semakin besar
kemungkinannya mendapat serangan penyakit tersebut. Insidensi Infark miokard
akan meningkat dengan semakin banyak faktor resiko yang did erita. Faktor
Adapted from Assman G, Schulte H. Am Heart J 1988;116:1713–1724
0
10
20
30
40
50
7-year incidence rate of MI (% )
No prior MI
MI
0
10
20
30
40
50
7-year incidence rate of MI (% )
No prior MI
MI
p<0.001
p<0.001
N No o d di ia ab be et te es s
(n=1373)
D Di ia ab be et te es s
(n=1059)
0
20
40
60
80
100
120
0
20
40
60
80
100
120
None
Dyslipidaemia +
hypertens +/-
diabetes
Diabetes only
Hypertens +
diabetes
Hypertension only
Dyslipidaemia
Prevalence (%): 54.9 22.9 2.6 2.3 9.4 8.0 resiko yang didapatkan pada pe nelitian ini adalah hipertensi , diabetes, dan
dislipidemia4
.

Relevansi Hiperglikemia dengan peningkatan Risiko Penyakit
Kardiovaskuler

Pada diabetes melitus, selain keada an hiperglikemia/ Gangguan tol eransi
glukosa sebagai faktor resiko, juga dapat ditemukan faktor resiko kardiovaskuler
lain, seperti Resistensi Insul in, Hiperinsulinemia, Dislipid emia, Hipertensi,
Hiperkoagulasi, Obesitas Visceral, Mikroalbuminuria. Keadaa n yang sangat
multifaktorial ini menyebabkan insidensi penyakit kadiovaskuler pada diabetes
tinggi dan terus meningkat apabila pengelolaannya tidak komprehensif. Dasar
patofisologi dari kelainan tersebut adalah adanya gangguan pada metabolisme (
Abnormality Metabolism ) yang sering dikemukakan akh ir akhir ini sebagai
sindroma metabolik
5,6
.

Sindroma Metabolik

Batasan Sindroma metabolik yang diajukan oleh National Cholesterol Education
Program, Adult Treatment Panel III, tahun 2001 bahwa Faktor resiko ad anya
sindroma metabolik adalah Obesitas Abdominal (Lingkar panggul) pada laki laki
> 102 cm ( 40 inci ) dan wanita > 88 cm ( 35 inci), Kadar trigleserida ≥ 150 mg/dl
( 1,7 mmol/L ), Kadar kolesterol HDL pada laki laki < 40 mg/dl ( 1.4 mmol/L) dan
wanita < 50 mg/dl ( 1,3 mmol/L ), Tekanan darah ≥ 130/ ≥ 85 mmHg serta
Glukosa puasa ≥ 110 mg/dl ( 6,0 mmol/L)
5,6,7
.
Hubungan sidroma metabolik den gan faktor resiko penyakit
kardiovaskuler adalah dengan t erjadinya proses atheroskleros is yang
menggambarkan terjadinya disfungsi endotel. Faktor faktor te kanan darah,
obesitas abdominal, hiperinsulinemia. Diabetes, hiperkoagulasi, dan dislipidemia
ini diawali dengan keadaan resistensi insulin
5,6
.

NCEP ATP III: The Metabolic Syndrome Risk Factor
Risk Factors for Cardiovasculer Disease

Modifiable Non-Modifiable

- - Smoking - P Pe er rs so on na al l h hi is st to or ry y o of f C CH HD D
- Dyslipidemia - F Fa am mi il ly y h hi is st to or ry y o of f C CH HD D
o Raised LDL-cholesterol - Age
o Low HDL-cholesterol - Gender
o Raised triglycerides

- Raised Blood Pressure
- Diabetes Mellitus
- Obesity

A Ad da ap pt te ed d f fr ro om m: : P Py yö ör rä äl lä ä K K e et t a al l. . E Eu ur r H He ea ar rt t J J 1 19 99 94 4; ;1 15 5: :1 13 30 00 0– –1 13 33 31 1

Faktor resiko kardiovaskuler

Faktor resiko kardiovaskuler yang dapat dikoreksi adalah merokok, dislipidemi,
kolesterol LDL yang meningkat, kolesterol HDL yang rendah, trigliseride yang
meningkat, tekanan darah tinggi, Diabetes mellitus, obesitas, Faktor diet, faktor
thrombogenik, gaya hidup santai, konsumsi alkohol yang berlebih. Sedangkan
faktor yang tidak dapat dikoreksi adalah adanya riwayat penyakit kardiovaskuler
sebelumnya, riwayat penyakit kardiovaskuler pada keluarga, umur, dan gender
8
.
Dari penelitian UKPDS ternyata dengan kontrol tekanan darah yang lebih
baik makan insidensi stroke dan gangguan penglihatan dapat ditekan sampai
lebih sepertiganya, dan kematian yang berhubungan dengan diabetes juga dapat
ditekan sebesar sepertiganya. Sedangkan dengan kontrol gula darah yang baik
akan menurunkan sepertiganya kelainan ginjal dan seperempatnya ganggguan
penglihatan
2,9
.

Patogenesis hipertensi

Pada umumnya pada diabetes mel itus menderita juga hipertensi .
Hipertensi yang tidak dikelola dengan baik akan mempercepat kerusakan pada
ginjal dan kelianan kardiovask uler. Sebaliknya apabila tekan an darah dapat
dikontrol makan a kan memproteksi terhadap kompl ikasi mikro dan
makrovaskuler yang disertai pengelolaan hiperglikemia yang terkontrol. Secara
fisiologi terjadinya peningkatan tekanan darah seperti diganbarkan pada bagan
dibawah ini :
autoregulation

Blood Pressure = Cardiac Out Put x Peripheral Resistance


Preload Contractility Functional Structrural
Constriction Hypertrophy


Fluid Venous
Volume constriction




Renal Decreased Sympathetic Renin Cell Hyper-
Sodium Filtrasi Nervous Angiotensin Membrane Insulinemia
Retention Surface OverActivity Excess Alteration




Excess Reduced Stress Genetic Obesity
Sodium Nephron Alteration
Intake Number Endothelium
Derived
Factors
Kaplan, 2002

Sedangkan patogenesis hiperten si pada penderita DMt2 sangat kompleks,
banyak faktor berpengaruh pada peningkatan tekanan darah. Pada Diabetes faktor tersebut adalah : Resi stensi insulin, kadar Gula darah plasma, Obesitas
selain faktor lain pada sistem otoregulasi pengaturan tekanan darah12
.

Pemilihan Anti hipertensi pada Diabetes mellitus tipe 2

Hipertensi berpengaruh pada penyakit vaskuler antara lain pada organ otak (
stroke, demensia ), jantung ( Infark miokard, gagal jantung, kematian mendadak,
atau ginjal ( gagal ginjal ter minal ). Dengan demikian secar a patofisiologis
dasarnya adalah kelainan pada dinding pembuluh darah merupakan awal
kelainan pada organ organ tersebut
2, 16, 17, 18, 19.
.
Prevalensi hipertensi pada pen derita Diabetes mellitus secar a
keseluruhan adalah 70 %, Pada laki laki 32 %, wanita 45 %. Pada masyarakat
India Puma sebesar 49%, pada kulit putih sebanyak 37 % dan pada orang asia
sebesar 35%. Hal ini menggambarkan bahwa hipertensi pada DMs akan sering
ditemukan dibandingkan pada individu tanpa diabetes. Terkadang muncul suatu
petanyaan apakah diabetes yang mendahului hipertensi atau sebaliknya atau
bersama-sama?
10, 11, 13, 14, 15
.
Secara fisiologis sistem Renin angiotensin melibatkan hormon hormon
seperti Angiotensinogen, yang akan berubah menjadi Angiotens in I dengan
bantuan Renin. Angiotensin I ini dengan adanya enzim ACE berubah menjadi
Angiotensin II. ACE ini selain berperan dalam perubahan tersebut juga berperan
dalam metabolisme bradikinin. Angiotensin II aktif setelah tertangkap oleh
reseptor reseptornya antara lain AT1 dan AT2. Sampai saat ini reseptor yang
paling banyak ditemukan adalah AT112
.
Setelah Angiotensin II pada reseptor AT1, maka akan terjadi proses yang
sangat komplek pada organ organ seperti otak, pembuluh darah, Jantung, dan
ginjal. Pada otak akan terjadi stoke, sedangkan pada dinding pembuluh darah
akan terjadi aterosklerosis, vasokontriksi, hipertrofi vaskuler, serta disfun gsi
endotel, selanjutnya mengakibatkan peningkatan tekanan darah. Pada Organ
jantung akan terjadi Hipertrof i ventrikel kiri, fibrosis, se rta proses remodeling
terganggu sehingga terjadi gagal jantiung ataupun infark miokard
12
.
Reseptor AT1 yang menangkap An giotensin II pada organ ginjal akan
mempengaruhi Laju Filtrasi Gin jal menurun, terjadi proteinu ria, pelepasan
aldosteron, serta sklerosis gl omerular. Keadaan ini akan terus berlang sung
sehingga menimbulkan gagal ginjal terminal.
Terdapat hal yang menarik tent ang aksi ACE maupun ACE inhibi tor.
Dengan adanya penghambat ACE m aka Angiotensin II akan menuru n,
Bradikinin meningkat yang selanjutnya akan meningkatkan Nitrit oxide. Adanya
peningkatan Nitrit okside ini maka terjadi peningkatan vasodilatasi sert a
peningkatan transport glukosa pada sel sel otot. Dengan demikian Penghambat
ACE mempengaruhi resistensi in sulin melalui dua proses yaitu pada
hemodinamik dan metabolisme gl ukosa. Adanya mekanism e tersebut,
Penghambat ACE dapat menjadi pilihan utama pada penderita dengan keadaan
resistensi insulin
( 20) meattbolism )
.
Mekanisme kimiawi aksi angiotensin II sangat kompleks baik melalui efek
endokrin ( efek sistemik) maupun effek pada jaringan yang spesifik. Kedua efek ini akan meningkatkan tekanan darah, meningkatan tekanan intraglomerular dan
peningkatan ekskresi albumin. Hal ini terjadi akibat efek en dokrin berupa
vasokontriksi, steroidogenic (aldosteron), dipsogenic ( efek SSP), dan Supresi
Renin ( negative feedback ), serta efek pada jaringan sp esifik melalui Tropic/
mitogenic ( Cardiac dan vascul ar myocytes ), Chronotropic/ A rrythmogenic (
Cardiomyocyte), Thrombogenic ( plasminogen Activator inhibitor ), Oxidative (
Reactive Oxygen Species ), Ion transport channel (myocytes ), Neuroexcitation (
Sympathetic nerve terminals ), serta Endothelin stimulation ( endothelial cells ).
Obat anti hipertensi yang ideal diharapkan adalah yang dapat mengontrol
tekanan darah, tidak mengganggu terhadap metabolisme baik glukosa maupun
lipid, bahkan lebih menguntungkan, Dapat berperan sebagi renoprotektif, serta
dapat menuntungkan secara maksimal adalah respon terhadap kematian akibat
kardiovaskuler
2
.
Target tekanan darah yang diharapkan tercapai pada penderita tekanan
darah yang direkomendasikan ol eh ADA ( American Diabetes Ass cociated )
adalah seperti pada bagan dibawah ini :

Indikasi terapi inisial dan target tekanan darah
penderita hipertensi pada penderita diabetes melitus.

Sistolik Diastolik

Target (mmHg) < 130 < 80
Perubahan gaya hidup
Selama 3 bulan 130-139 80-89

Perubahan gaya hidup +
Terapi farmakologis ≥ 140 ≥ 90


Tujuan pengelolaan

Dari hasil penelitian UKPDS, dengan penurunan rata-rata 10 mmHg tekanan
sistolik dapat menurunkan resiko komplikasi sebesar 12 %, kematian 15%, Infark
miokard 11% dan komplikasi mikrovaskuler 13 %
2
.
Straregi management dalam upaya pencegahan te rhadap progresivitas
kelainan ginjal pada penderita diabetes adalah : mengelolan terhadap proteinuri,
hipertensi, hiperglikemia, faktor resiko lain : dislipidemia, dan perubahan gaya
hidup.
Obat hipertensi bersifat renoprotektif, seperti penghambat ACE dan ARB
akan menurunkan tekanan darah serta penurunkan ekskresi protein. Keadaan ini
akan menurunkan resiko terjadi nya gagal ginjal terminal, dan memperbaiki
harapan hidup.
Penghambat ACE dan ARB menurun kan tekanan darah melalui
mekanisme tidak terjadinnya va sokontriksi. Penghambat ACE me nghambat
pembentukan Angiotensin II yan g bersifat vasokontriktor, sed angkan ARB
bertindak sebagai antagonis re septor AT1. Perbedaannya terle tak pada
pembentukan bradikin yang tetap berlangsung pada penghambat ACE. Antagonis reseptor AT1 seperti Vasartan, Telmisartan, Ibesartan, ataupun
Losartan akan memblokade secar a komplet pada reseptor sistem renin
angiotensinogen. Efek ini sangat menguntungkan pada sistem kardiovaskuler.
Dengan demikian Antagonis reseptor AT1 selain ber sifat nefroprotektif juga
bersifat kardioprotektif.
Renoprotektif ini dapat tercap ai dengan baik pada penderita diabetes
selain kontrol gula darah yang baik dan dengan diet rendah protein juga
pengelolaan hipertensi yang mencapai target tekanan darah ku rang 135/ 80
mmHg dengan menggunakan Penghambat ACE ataupun Antagonis res eptor
AT1. Antagonis reseptor AT1 be rsifat renoprektif ini dibukti kan pada banyak
penelitian. Losartan lebih bes ar pengaruhnya dalam penurunan ekskresi
mikroalbuminuria dibandingkan d engan Calsium antagonis, demik ian juga
Ibesartan yang dibandingkan dengan amlodipin.
Selain penelitian tersebut, banyak penelitian lain seperti IDNT, RENAAL,
dan DETAIL menyimpulkan bahwa Antagonis reseptor AT1 bersifat renoprotektif,
seperti pada pada tabel dibawah ini :

IDNT and RENAAL Study Result

RRR (%)

IDNT RENAAL

Ibesartan v Ibesartan v Losartan v
End Point Placebo Amlodipine Placebo

Composite end Point (doubling of
Scr, ESRD, or Death)
Doubling Of : 20(p= .02) 23 (p=.006) 16 (p=.02)

Scr 33(p=.003) 37(p<.001) 25(p=.006)
ESRD 23(p=.07) 23(p=.07) 28(p=.002)
Death 8(p=.57) -4 (p=.8 ) - 2(p=.88)
Cardiovascular morbidity
and mortality 9(p=.4 ) -3 (p=.79) 10 (p=.26)


Pada penelitian meta -analisis dengan populasi pend erita diabetes
didapatkan Penghambat ACE, Cal sium antagonis dan -blockers mempunyai
efek menurunkan ekskresi mikroalbuminuria. Secara berurutan efek tersebut
paling besar terdapat pada pen ghambat ACE, Calsium antagonis, dan yang
paling rendah adalah -blockers
21
.
Penggunaan Antagonis reseptor AT1 dan Penghambat ACE pada
pengelolaan Hipertensi, CHF, I nfark Miokard, serta Nefropati Diabetika
memberikan efektifitas yang baik. Walaupun demikian Antagonis reseptor AT1
lebih selektif pada proliferasi sel endotel, vasokontriksi dan remodeling dengan
tanpa efek samping seperti batuk dan edem angioneurotik Dengan demikian pada penderita nefropati diabetika penghambat ACE,
antagonis reseptor AT1 dan -blockers merupakan piliian pertama untuk kontrol
hipertensi. Sedangkan rekomendasi ADA dalam pengelolaan hipertensi pada
penderita diabetes adalah penghambat ACE dan Antagonis reseptor AT1 untuk
mikroalbuminuria, Apabila disertai faktor resiko kardiovask uler dengan ada
ataupun tidak ada hipertensi p ilihannya adalah penghambat AC E. Untuk
Diabetes dengan Infark miokard akut pilihannya dalah -blockers. Penghambat
Ace, antagonis reseptor AT1, -blockers dan diuretika dapat dikombinasi satu
sama lain yang tidak segolonga n. Sedangkan Calsium antagonist merupakan
pilhan yang sangat tepat sebag ai terapi kombinasi tetapi buk an pengganti
penghambat ACE dan -blockers2,21
.

Kesimpulan

1. Hipertensi pada penderita DM tipe 2 menimbulkan percepatan kompilkasi
pada jantung dan ginjal.
2. Obat anti hipertensi Penghambat ACE, Antagonis reseptor Angi totensin
dan beta bloker merupakan pilihan pertama dalam pengelolaan hipertensi
pada penderita DM.
3. Dalam pengelolaan hipertensi pada DM makan tekanan darah diharapkan
mencapai nilai sesuai dengan target yang telah direkomendasikan.

Kepustakaan

1. International Diabetes Federation website
2. Haffner SM et al. N Engl J Med 1998;339:229–234
3. Assman G, Schulte H. Am Heart J 1988;116:1713–1724
4. Rutter MK et al. Circulation. 2003;107:458-454.
5. American Diabetes Association. Diabetes Care. 2003;26(suppl 1):S5-S20.
6. National Cholesterol Education Program, Adult Treatment Panel III, 2001.
JAMA 2001:285;2486–2497
7. P Py yö ör rä äl lä ä K K e et t a al l. . E Eu ur r H He ea ar rt t J J 1 19 99 94 4; ;1 15 5: :1 13 30 00 0– –1 13 33 31 1
8. Turner RC, et al. BMJ. 1998;317:703-713
9. Turner RC et al. Br Med J 1998; 316: 823-828
10. Pacy PJ et al. Diabetic Med 1985; 2: 125-130
11. Estacio R. Diabetes Obes Metab. 2001;3:472-476.
12. Tenenbaum A et al. Am J Cardiol. 1999;84:294-298.
13. Julius S. J Hypertens. 1997;15(suppl):S3-S10.
14. Weir et al. Am J Hypertens 1999;12:205S-213S.
15. Beers MH, Berkow R, eds. The Merck Manual of Diagnosis and Therapy.
17th ed. 1999:1629-1648.
16. Francis CK. In: Izzo JL Jr, Bl ack HR, eds. Hypertension Primer: The
Essentials of High Blood Pressure. 2nd ed. 1999:175-176.
17. Hershey LA. In: Izzo JL Jr, Black HR, eds. Hypertension Primer: The
Essentials of High Blood Pressure. 2nd ed. 1999:188-189.
18. Edmund J.Lewis, AJH,2002;15:123S-128S

Selasa, 22 Desember 2009

Farmakoterapi Batuk


Batuk bukanlah suatu penyakit. Batuk merupakan mekanisme pertahanan tubuh di saluran pernapasan dan merupakan gejala suatu penyakit atau reaksi tubuh terhadap iritasi di tenggorokan karena adanya lendir, makanan, debu, asap dan sebagainya.

Batuk terjadi karena rangsangan tertentu, misalnya debu di reseptor batuk (hidung, saluran pernapasan, bahkan telinga). Kemudian reseptor akan mengalirkan lewat syaraf ke pusat batuk yang berada di otak. Di sini akan memberi sinyal kepada otot-otot tubuh untuk mengeluarkan benda asing tadi, hingga terjadilah batuk.
[sunting] Akut dan Kronis

Batuk dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu batuk akut dan batuk kronis, keduanya dikelompokkan berdasarkan waktu.

Batuk akut adalah batuk yang berlangsung kurang dari 14 hari, serta dalam 1 episode. Bila batuk sudah lebih dari 14 hari atau terjadi dalam 3 episode selama 3 bulan berturut-turut, disebut batuk kronis atau batuk kronis berulang.

Batuk kronis berulang yang sering menyerang anak-anak adalah karena asma, tuberkolosis (TB), dan pertusis (batuk rejan/batuk 100 hari). Pertusis adalah batuk kronis yang disebabkan oleh kuman Bordetella pertussis. Pertussis dapat dicegah dengan imunisasi DPT.
[sunting] Penyebab batuk

Ada beberapa macam penyebab batuk :

1. Umumnya disebabkan oleh infeksi di saluran pernapasan bagian atas yang merupakan gejala flu.
2. Infeksi saluran pernapasan bagian atas (ISPA).
3. Alergi
4. Asma atau tuberculosis
5. Benda asing yang masuk kedalam saluran napas
6. Tersedak akibat minum susu
7. Menghirup asap rokok dari orang sekitar
8. Batuk Psikogenik. Batuk ini banyak diakibatkan karena masalah emosi dan psikologis.

CANCER


Kanker adalah segolongan penyakit yang ditandai dengan pembelahan sel yang tidak terkendali dan kemampuan sel-sel tersebut untuk menyerang jaringan biologis lainnya, baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (metastasis). Pertumbuhan yang tidak terkendali tersebut disebabkan kerusakan DNA, menyebabkan mutasi di gen vital yang mengontrol pembelahan sel. Beberapa buah mutasi mungkin dibutuhkan untuk mengubah sel normal menjadi sel kanker. Mutasi-mutasi tersebut sering diakibatkan agen kimia maupun fisik yang disebut karsinogen. Mutasi dapat terjadi secara spontan (diperoleh) ataupun diwariskan (mutasi germline).Kanker dapat menyebabkan banyak gejala yang berbeda, bergantung pada lokasinya dan karakter dari keganasan dan apakah ada metastasis. Sebuah diagnosis yang menentukan biasanya membutuhkan pemeriksaan mikroskopik jaringan yang diperoleh dengan biopsi. Setelah didiagnosis, kanker biasanya dirawat dengan operasi, kemoterapi dan/atau radiasi.

Bila tak terawat, kebanyakan kanker menyebabkan kematian; kanker adalah salah satu penyebab utama kematian di negara berkembang. Kebanyakan kanker dapat dirawat dan banyak disembuhkan, terutama bila perawatan dimulai sejak awal. Banyak bentuk kanker berhubungan dengan faktor lingkungan yang sebenarnya bisa dihindari. Merokok tembakau dapat menyebabkan banyak kanker dari faktor lingkungan lainnya.

Tumor (bahasa Latin; pembengkakan) menunjuk massa jaringan yang tidak normal, tetapi dapat berupa "ganas" (bersifat kanker) atau "jinak" (tidak bersifat kanker). Hanya tumor ganas yang mampu menyerang jaringan lainnya ataupun bermetastasis.

Mendiagnosa kanker

Kebanyakan kanker dikenali karena tanda atau gejala tampak atau melalui "screening". Kedua ini tidak menuju ke diagnosis yang jelas, yang biasanya membutuhkan sebuah biopsi. Beberapa kanker ditemukan secara tidak sengaja pada saat evaluasi medis dari masalah yang tak berhubungan.
[sunting] Riset kanker

Riset kanker merupakan usaha ilmiah yang banyak ditekuni untuk memahami proses penyakit dan menemukan terapi yang memungkinkan. Meskipun pemahaman kanker memiliki tumbuh secara eksponen sejak dekade terakhir dari abad ke-20, terapi baru yang radikal hanya ditemukan dan diperkenalkan secara bertahap.

Penghambat tyrosine kinases (imatinib dan gefitinib) pada akhir 1990-an dianggap sebuah terobosan utama; mereka mengganggu terutama dengan protein tumor-tertentu. Antibodi monoclonal telah terbukti sebuah langkah besar dalam perawatan oncological.