Powered By Blogger

Drug Information Center

Drug Information Center
Salam Farmasi

Jumat, 25 Desember 2009

Pengelolaan Hipertensi pada Diabetes Mellitus Tipe 2


Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit yang tidak dit ularkan (
Non-Communicable disease ) dan sering ditemukan di ma syarakat seluruh
dunia. Di negara berkembang DM juga sebagai penyebab kematian 4 – 5 kali
dibanding dengan penyakit lain. Insidensi DM terus meningkat secara tajam,
sampai saat ini tercatat sebanyak 177 juta penderita diabetes di seluruh dunia,
dan diperkirakan pada tahun 2025 akan didapatkan penderita diabetes sebanyak
300 juta penderita1
.
Peningkatan insidensi DM akan meningkatkan insidensi komplikasi akibat
diabetes tersebut. Dari berbagai p enelitian didapatkan ebanyak 3 0-40%
penderita DM tipe 2 (DMt2) akan mengalami kerusakan ginjal berupa nefropati
diabetik yang pada akhirnya ak an jatuh ke Gagal ginjal termi nal yang akan
memerlukan hemodialisis. Selain komplikasi pada organ ginjal ini, DM ini juga
sebagai penyebab peningkatan i nsidensi kesakitan dan kematia n penyakit
kardiovaskuler. Dengan meningkatnya insidensi DMt2 maka seca ra signifikan
akan meningkatkan pula insidensi gagal ginjal dan penyakit kardiovaskuler
2
.
Dengan demikian peningkatan in sidensi DMt2 yang signifikan a kan
meningkatkan pula insidensi gagal ginjal dan penyakit kardiovaskuler. Dengan
kondisi seperti itu maka diper lukan upaya pengelolaan dan pe ncegahan
terhadap komplikasi yang serin g menjadi suatu langkah pengelolaan yan g
strategis dan sangat penting, dengan harapan upaya tersebut dapat menunda
perkembangan terjadinya kompli kasi maupun menghambat progres itfitas
komplikasi yang sudah terjadi. Dalam tulisan ini akan diungk apkan selain
epidemiologi, dan patofisiologi hipertensi pada penderita DMt2, juga bagaimana
kiat pemilihan obat anti hipertensi pada DMt22
.

Epidemiologi
Seperti sudah diungkapkan sebe lumnya, bahwa insidensi penyak it
kardiovaskuler dan gagal ginjal terus meningkat sejalan deng an peningkatan
insidensi DMt2. Banyak cara te lah dilakukan untuk upaya penc egahan
meningkatnya insidensi tersebut, antara lain upaya mengendal ikan hipertensi
salah satu faktor resiko penyakit jantung koroner. Obat anti hipertensi yang layak
digunakan telah banyak ditawarkan pada pengel olaan hipertensi penderita DM
t2. Diharapkan dengan terkontrol dengan baik tekanan darah akan menyebabkan
pengurangan resiko penyakit ka rdiovaskuler, tetapi dari berb agai penelitian
ternyata insidensi penyakit kardiovaskuler tetap meningkat, equivalent dengan
peningkatan insidensi DMt2. Ha l ini disebabkan karena pada DMt2 masih
terdapat faktor risiko lain, selain hipertensi seperti dislipidemia, sehingga perlu
dipikirkan adanya pengelolaan faktor faktor resiko lain sela in pengelolaan
hipertensi yang baik. Dengan demikian pengelolaan faktor risiko lain seharusnya perlu dilakukan secara serta m erta bersama sama dengan penge lolaan
hipertensi dengan mencapai target terapi yang diharapkan2
.
Salah satu gambaran adalah dar i hasil penelitian EAST WEST Study
pada tahun 1998, yang mendapatkan gambaran insidensi Infark Miokard dalam
pengamatan selama 7 tahun pada populasi yang besar sebanyak 1373 penderita
infark miokard non -diabetes dan 1059 penderita in fark miokard-diabetes.
Ternyata penderita diabetes secara si gnifikan lebih banyak kejadian infark
miokard dibandingkan non diabe tes ( p < 0,0001). Hal ini men ggambarkan
bahwa selain faktor tekanan da rah yang sebagai faktor resiko penyakit
kardiovaskuler juga adanya riwayat menderita atau keadaan hiperglikemia juga
sangat besar pengaruhnya terhadap insidensi penyakit kardiovaskuler
3
.
East West Study:
Patients with Diabetes at Similar Risk to No Diabetes with MI


PROCAM:
Combination of Risk Factors Increases Risk of MI












Dalam penelitian lain, PROCAM, tahun 1988 menyimpulkan bahwa
semakin banyak factor resiko p enyakit kardiovaskuler semakin besar
kemungkinannya mendapat serangan penyakit tersebut. Insidensi Infark miokard
akan meningkat dengan semakin banyak faktor resiko yang did erita. Faktor
Adapted from Assman G, Schulte H. Am Heart J 1988;116:1713–1724
0
10
20
30
40
50
7-year incidence rate of MI (% )
No prior MI
MI
0
10
20
30
40
50
7-year incidence rate of MI (% )
No prior MI
MI
p<0.001
p<0.001
N No o d di ia ab be et te es s
(n=1373)
D Di ia ab be et te es s
(n=1059)
0
20
40
60
80
100
120
0
20
40
60
80
100
120
None
Dyslipidaemia +
hypertens +/-
diabetes
Diabetes only
Hypertens +
diabetes
Hypertension only
Dyslipidaemia
Prevalence (%): 54.9 22.9 2.6 2.3 9.4 8.0 resiko yang didapatkan pada pe nelitian ini adalah hipertensi , diabetes, dan
dislipidemia4
.

Relevansi Hiperglikemia dengan peningkatan Risiko Penyakit
Kardiovaskuler

Pada diabetes melitus, selain keada an hiperglikemia/ Gangguan tol eransi
glukosa sebagai faktor resiko, juga dapat ditemukan faktor resiko kardiovaskuler
lain, seperti Resistensi Insul in, Hiperinsulinemia, Dislipid emia, Hipertensi,
Hiperkoagulasi, Obesitas Visceral, Mikroalbuminuria. Keadaa n yang sangat
multifaktorial ini menyebabkan insidensi penyakit kadiovaskuler pada diabetes
tinggi dan terus meningkat apabila pengelolaannya tidak komprehensif. Dasar
patofisologi dari kelainan tersebut adalah adanya gangguan pada metabolisme (
Abnormality Metabolism ) yang sering dikemukakan akh ir akhir ini sebagai
sindroma metabolik
5,6
.

Sindroma Metabolik

Batasan Sindroma metabolik yang diajukan oleh National Cholesterol Education
Program, Adult Treatment Panel III, tahun 2001 bahwa Faktor resiko ad anya
sindroma metabolik adalah Obesitas Abdominal (Lingkar panggul) pada laki laki
> 102 cm ( 40 inci ) dan wanita > 88 cm ( 35 inci), Kadar trigleserida ≥ 150 mg/dl
( 1,7 mmol/L ), Kadar kolesterol HDL pada laki laki < 40 mg/dl ( 1.4 mmol/L) dan
wanita < 50 mg/dl ( 1,3 mmol/L ), Tekanan darah ≥ 130/ ≥ 85 mmHg serta
Glukosa puasa ≥ 110 mg/dl ( 6,0 mmol/L)
5,6,7
.
Hubungan sidroma metabolik den gan faktor resiko penyakit
kardiovaskuler adalah dengan t erjadinya proses atheroskleros is yang
menggambarkan terjadinya disfungsi endotel. Faktor faktor te kanan darah,
obesitas abdominal, hiperinsulinemia. Diabetes, hiperkoagulasi, dan dislipidemia
ini diawali dengan keadaan resistensi insulin
5,6
.

NCEP ATP III: The Metabolic Syndrome Risk Factor
Risk Factors for Cardiovasculer Disease

Modifiable Non-Modifiable

- - Smoking - P Pe er rs so on na al l h hi is st to or ry y o of f C CH HD D
- Dyslipidemia - F Fa am mi il ly y h hi is st to or ry y o of f C CH HD D
o Raised LDL-cholesterol - Age
o Low HDL-cholesterol - Gender
o Raised triglycerides

- Raised Blood Pressure
- Diabetes Mellitus
- Obesity

A Ad da ap pt te ed d f fr ro om m: : P Py yö ör rä äl lä ä K K e et t a al l. . E Eu ur r H He ea ar rt t J J 1 19 99 94 4; ;1 15 5: :1 13 30 00 0– –1 13 33 31 1

Faktor resiko kardiovaskuler

Faktor resiko kardiovaskuler yang dapat dikoreksi adalah merokok, dislipidemi,
kolesterol LDL yang meningkat, kolesterol HDL yang rendah, trigliseride yang
meningkat, tekanan darah tinggi, Diabetes mellitus, obesitas, Faktor diet, faktor
thrombogenik, gaya hidup santai, konsumsi alkohol yang berlebih. Sedangkan
faktor yang tidak dapat dikoreksi adalah adanya riwayat penyakit kardiovaskuler
sebelumnya, riwayat penyakit kardiovaskuler pada keluarga, umur, dan gender
8
.
Dari penelitian UKPDS ternyata dengan kontrol tekanan darah yang lebih
baik makan insidensi stroke dan gangguan penglihatan dapat ditekan sampai
lebih sepertiganya, dan kematian yang berhubungan dengan diabetes juga dapat
ditekan sebesar sepertiganya. Sedangkan dengan kontrol gula darah yang baik
akan menurunkan sepertiganya kelainan ginjal dan seperempatnya ganggguan
penglihatan
2,9
.

Patogenesis hipertensi

Pada umumnya pada diabetes mel itus menderita juga hipertensi .
Hipertensi yang tidak dikelola dengan baik akan mempercepat kerusakan pada
ginjal dan kelianan kardiovask uler. Sebaliknya apabila tekan an darah dapat
dikontrol makan a kan memproteksi terhadap kompl ikasi mikro dan
makrovaskuler yang disertai pengelolaan hiperglikemia yang terkontrol. Secara
fisiologi terjadinya peningkatan tekanan darah seperti diganbarkan pada bagan
dibawah ini :
autoregulation

Blood Pressure = Cardiac Out Put x Peripheral Resistance


Preload Contractility Functional Structrural
Constriction Hypertrophy


Fluid Venous
Volume constriction




Renal Decreased Sympathetic Renin Cell Hyper-
Sodium Filtrasi Nervous Angiotensin Membrane Insulinemia
Retention Surface OverActivity Excess Alteration




Excess Reduced Stress Genetic Obesity
Sodium Nephron Alteration
Intake Number Endothelium
Derived
Factors
Kaplan, 2002

Sedangkan patogenesis hiperten si pada penderita DMt2 sangat kompleks,
banyak faktor berpengaruh pada peningkatan tekanan darah. Pada Diabetes faktor tersebut adalah : Resi stensi insulin, kadar Gula darah plasma, Obesitas
selain faktor lain pada sistem otoregulasi pengaturan tekanan darah12
.

Pemilihan Anti hipertensi pada Diabetes mellitus tipe 2

Hipertensi berpengaruh pada penyakit vaskuler antara lain pada organ otak (
stroke, demensia ), jantung ( Infark miokard, gagal jantung, kematian mendadak,
atau ginjal ( gagal ginjal ter minal ). Dengan demikian secar a patofisiologis
dasarnya adalah kelainan pada dinding pembuluh darah merupakan awal
kelainan pada organ organ tersebut
2, 16, 17, 18, 19.
.
Prevalensi hipertensi pada pen derita Diabetes mellitus secar a
keseluruhan adalah 70 %, Pada laki laki 32 %, wanita 45 %. Pada masyarakat
India Puma sebesar 49%, pada kulit putih sebanyak 37 % dan pada orang asia
sebesar 35%. Hal ini menggambarkan bahwa hipertensi pada DMs akan sering
ditemukan dibandingkan pada individu tanpa diabetes. Terkadang muncul suatu
petanyaan apakah diabetes yang mendahului hipertensi atau sebaliknya atau
bersama-sama?
10, 11, 13, 14, 15
.
Secara fisiologis sistem Renin angiotensin melibatkan hormon hormon
seperti Angiotensinogen, yang akan berubah menjadi Angiotens in I dengan
bantuan Renin. Angiotensin I ini dengan adanya enzim ACE berubah menjadi
Angiotensin II. ACE ini selain berperan dalam perubahan tersebut juga berperan
dalam metabolisme bradikinin. Angiotensin II aktif setelah tertangkap oleh
reseptor reseptornya antara lain AT1 dan AT2. Sampai saat ini reseptor yang
paling banyak ditemukan adalah AT112
.
Setelah Angiotensin II pada reseptor AT1, maka akan terjadi proses yang
sangat komplek pada organ organ seperti otak, pembuluh darah, Jantung, dan
ginjal. Pada otak akan terjadi stoke, sedangkan pada dinding pembuluh darah
akan terjadi aterosklerosis, vasokontriksi, hipertrofi vaskuler, serta disfun gsi
endotel, selanjutnya mengakibatkan peningkatan tekanan darah. Pada Organ
jantung akan terjadi Hipertrof i ventrikel kiri, fibrosis, se rta proses remodeling
terganggu sehingga terjadi gagal jantiung ataupun infark miokard
12
.
Reseptor AT1 yang menangkap An giotensin II pada organ ginjal akan
mempengaruhi Laju Filtrasi Gin jal menurun, terjadi proteinu ria, pelepasan
aldosteron, serta sklerosis gl omerular. Keadaan ini akan terus berlang sung
sehingga menimbulkan gagal ginjal terminal.
Terdapat hal yang menarik tent ang aksi ACE maupun ACE inhibi tor.
Dengan adanya penghambat ACE m aka Angiotensin II akan menuru n,
Bradikinin meningkat yang selanjutnya akan meningkatkan Nitrit oxide. Adanya
peningkatan Nitrit okside ini maka terjadi peningkatan vasodilatasi sert a
peningkatan transport glukosa pada sel sel otot. Dengan demikian Penghambat
ACE mempengaruhi resistensi in sulin melalui dua proses yaitu pada
hemodinamik dan metabolisme gl ukosa. Adanya mekanism e tersebut,
Penghambat ACE dapat menjadi pilihan utama pada penderita dengan keadaan
resistensi insulin
( 20) meattbolism )
.
Mekanisme kimiawi aksi angiotensin II sangat kompleks baik melalui efek
endokrin ( efek sistemik) maupun effek pada jaringan yang spesifik. Kedua efek ini akan meningkatkan tekanan darah, meningkatan tekanan intraglomerular dan
peningkatan ekskresi albumin. Hal ini terjadi akibat efek en dokrin berupa
vasokontriksi, steroidogenic (aldosteron), dipsogenic ( efek SSP), dan Supresi
Renin ( negative feedback ), serta efek pada jaringan sp esifik melalui Tropic/
mitogenic ( Cardiac dan vascul ar myocytes ), Chronotropic/ A rrythmogenic (
Cardiomyocyte), Thrombogenic ( plasminogen Activator inhibitor ), Oxidative (
Reactive Oxygen Species ), Ion transport channel (myocytes ), Neuroexcitation (
Sympathetic nerve terminals ), serta Endothelin stimulation ( endothelial cells ).
Obat anti hipertensi yang ideal diharapkan adalah yang dapat mengontrol
tekanan darah, tidak mengganggu terhadap metabolisme baik glukosa maupun
lipid, bahkan lebih menguntungkan, Dapat berperan sebagi renoprotektif, serta
dapat menuntungkan secara maksimal adalah respon terhadap kematian akibat
kardiovaskuler
2
.
Target tekanan darah yang diharapkan tercapai pada penderita tekanan
darah yang direkomendasikan ol eh ADA ( American Diabetes Ass cociated )
adalah seperti pada bagan dibawah ini :

Indikasi terapi inisial dan target tekanan darah
penderita hipertensi pada penderita diabetes melitus.

Sistolik Diastolik

Target (mmHg) < 130 < 80
Perubahan gaya hidup
Selama 3 bulan 130-139 80-89

Perubahan gaya hidup +
Terapi farmakologis ≥ 140 ≥ 90


Tujuan pengelolaan

Dari hasil penelitian UKPDS, dengan penurunan rata-rata 10 mmHg tekanan
sistolik dapat menurunkan resiko komplikasi sebesar 12 %, kematian 15%, Infark
miokard 11% dan komplikasi mikrovaskuler 13 %
2
.
Straregi management dalam upaya pencegahan te rhadap progresivitas
kelainan ginjal pada penderita diabetes adalah : mengelolan terhadap proteinuri,
hipertensi, hiperglikemia, faktor resiko lain : dislipidemia, dan perubahan gaya
hidup.
Obat hipertensi bersifat renoprotektif, seperti penghambat ACE dan ARB
akan menurunkan tekanan darah serta penurunkan ekskresi protein. Keadaan ini
akan menurunkan resiko terjadi nya gagal ginjal terminal, dan memperbaiki
harapan hidup.
Penghambat ACE dan ARB menurun kan tekanan darah melalui
mekanisme tidak terjadinnya va sokontriksi. Penghambat ACE me nghambat
pembentukan Angiotensin II yan g bersifat vasokontriktor, sed angkan ARB
bertindak sebagai antagonis re septor AT1. Perbedaannya terle tak pada
pembentukan bradikin yang tetap berlangsung pada penghambat ACE. Antagonis reseptor AT1 seperti Vasartan, Telmisartan, Ibesartan, ataupun
Losartan akan memblokade secar a komplet pada reseptor sistem renin
angiotensinogen. Efek ini sangat menguntungkan pada sistem kardiovaskuler.
Dengan demikian Antagonis reseptor AT1 selain ber sifat nefroprotektif juga
bersifat kardioprotektif.
Renoprotektif ini dapat tercap ai dengan baik pada penderita diabetes
selain kontrol gula darah yang baik dan dengan diet rendah protein juga
pengelolaan hipertensi yang mencapai target tekanan darah ku rang 135/ 80
mmHg dengan menggunakan Penghambat ACE ataupun Antagonis res eptor
AT1. Antagonis reseptor AT1 be rsifat renoprektif ini dibukti kan pada banyak
penelitian. Losartan lebih bes ar pengaruhnya dalam penurunan ekskresi
mikroalbuminuria dibandingkan d engan Calsium antagonis, demik ian juga
Ibesartan yang dibandingkan dengan amlodipin.
Selain penelitian tersebut, banyak penelitian lain seperti IDNT, RENAAL,
dan DETAIL menyimpulkan bahwa Antagonis reseptor AT1 bersifat renoprotektif,
seperti pada pada tabel dibawah ini :

IDNT and RENAAL Study Result

RRR (%)

IDNT RENAAL

Ibesartan v Ibesartan v Losartan v
End Point Placebo Amlodipine Placebo

Composite end Point (doubling of
Scr, ESRD, or Death)
Doubling Of : 20(p= .02) 23 (p=.006) 16 (p=.02)

Scr 33(p=.003) 37(p<.001) 25(p=.006)
ESRD 23(p=.07) 23(p=.07) 28(p=.002)
Death 8(p=.57) -4 (p=.8 ) - 2(p=.88)
Cardiovascular morbidity
and mortality 9(p=.4 ) -3 (p=.79) 10 (p=.26)


Pada penelitian meta -analisis dengan populasi pend erita diabetes
didapatkan Penghambat ACE, Cal sium antagonis dan -blockers mempunyai
efek menurunkan ekskresi mikroalbuminuria. Secara berurutan efek tersebut
paling besar terdapat pada pen ghambat ACE, Calsium antagonis, dan yang
paling rendah adalah -blockers
21
.
Penggunaan Antagonis reseptor AT1 dan Penghambat ACE pada
pengelolaan Hipertensi, CHF, I nfark Miokard, serta Nefropati Diabetika
memberikan efektifitas yang baik. Walaupun demikian Antagonis reseptor AT1
lebih selektif pada proliferasi sel endotel, vasokontriksi dan remodeling dengan
tanpa efek samping seperti batuk dan edem angioneurotik Dengan demikian pada penderita nefropati diabetika penghambat ACE,
antagonis reseptor AT1 dan -blockers merupakan piliian pertama untuk kontrol
hipertensi. Sedangkan rekomendasi ADA dalam pengelolaan hipertensi pada
penderita diabetes adalah penghambat ACE dan Antagonis reseptor AT1 untuk
mikroalbuminuria, Apabila disertai faktor resiko kardiovask uler dengan ada
ataupun tidak ada hipertensi p ilihannya adalah penghambat AC E. Untuk
Diabetes dengan Infark miokard akut pilihannya dalah -blockers. Penghambat
Ace, antagonis reseptor AT1, -blockers dan diuretika dapat dikombinasi satu
sama lain yang tidak segolonga n. Sedangkan Calsium antagonist merupakan
pilhan yang sangat tepat sebag ai terapi kombinasi tetapi buk an pengganti
penghambat ACE dan -blockers2,21
.

Kesimpulan

1. Hipertensi pada penderita DM tipe 2 menimbulkan percepatan kompilkasi
pada jantung dan ginjal.
2. Obat anti hipertensi Penghambat ACE, Antagonis reseptor Angi totensin
dan beta bloker merupakan pilihan pertama dalam pengelolaan hipertensi
pada penderita DM.
3. Dalam pengelolaan hipertensi pada DM makan tekanan darah diharapkan
mencapai nilai sesuai dengan target yang telah direkomendasikan.

Kepustakaan

1. International Diabetes Federation website
2. Haffner SM et al. N Engl J Med 1998;339:229–234
3. Assman G, Schulte H. Am Heart J 1988;116:1713–1724
4. Rutter MK et al. Circulation. 2003;107:458-454.
5. American Diabetes Association. Diabetes Care. 2003;26(suppl 1):S5-S20.
6. National Cholesterol Education Program, Adult Treatment Panel III, 2001.
JAMA 2001:285;2486–2497
7. P Py yö ör rä äl lä ä K K e et t a al l. . E Eu ur r H He ea ar rt t J J 1 19 99 94 4; ;1 15 5: :1 13 30 00 0– –1 13 33 31 1
8. Turner RC, et al. BMJ. 1998;317:703-713
9. Turner RC et al. Br Med J 1998; 316: 823-828
10. Pacy PJ et al. Diabetic Med 1985; 2: 125-130
11. Estacio R. Diabetes Obes Metab. 2001;3:472-476.
12. Tenenbaum A et al. Am J Cardiol. 1999;84:294-298.
13. Julius S. J Hypertens. 1997;15(suppl):S3-S10.
14. Weir et al. Am J Hypertens 1999;12:205S-213S.
15. Beers MH, Berkow R, eds. The Merck Manual of Diagnosis and Therapy.
17th ed. 1999:1629-1648.
16. Francis CK. In: Izzo JL Jr, Bl ack HR, eds. Hypertension Primer: The
Essentials of High Blood Pressure. 2nd ed. 1999:175-176.
17. Hershey LA. In: Izzo JL Jr, Black HR, eds. Hypertension Primer: The
Essentials of High Blood Pressure. 2nd ed. 1999:188-189.
18. Edmund J.Lewis, AJH,2002;15:123S-128S

Selasa, 22 Desember 2009

Farmakoterapi Batuk


Batuk bukanlah suatu penyakit. Batuk merupakan mekanisme pertahanan tubuh di saluran pernapasan dan merupakan gejala suatu penyakit atau reaksi tubuh terhadap iritasi di tenggorokan karena adanya lendir, makanan, debu, asap dan sebagainya.

Batuk terjadi karena rangsangan tertentu, misalnya debu di reseptor batuk (hidung, saluran pernapasan, bahkan telinga). Kemudian reseptor akan mengalirkan lewat syaraf ke pusat batuk yang berada di otak. Di sini akan memberi sinyal kepada otot-otot tubuh untuk mengeluarkan benda asing tadi, hingga terjadilah batuk.
[sunting] Akut dan Kronis

Batuk dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu batuk akut dan batuk kronis, keduanya dikelompokkan berdasarkan waktu.

Batuk akut adalah batuk yang berlangsung kurang dari 14 hari, serta dalam 1 episode. Bila batuk sudah lebih dari 14 hari atau terjadi dalam 3 episode selama 3 bulan berturut-turut, disebut batuk kronis atau batuk kronis berulang.

Batuk kronis berulang yang sering menyerang anak-anak adalah karena asma, tuberkolosis (TB), dan pertusis (batuk rejan/batuk 100 hari). Pertusis adalah batuk kronis yang disebabkan oleh kuman Bordetella pertussis. Pertussis dapat dicegah dengan imunisasi DPT.
[sunting] Penyebab batuk

Ada beberapa macam penyebab batuk :

1. Umumnya disebabkan oleh infeksi di saluran pernapasan bagian atas yang merupakan gejala flu.
2. Infeksi saluran pernapasan bagian atas (ISPA).
3. Alergi
4. Asma atau tuberculosis
5. Benda asing yang masuk kedalam saluran napas
6. Tersedak akibat minum susu
7. Menghirup asap rokok dari orang sekitar
8. Batuk Psikogenik. Batuk ini banyak diakibatkan karena masalah emosi dan psikologis.

CANCER


Kanker adalah segolongan penyakit yang ditandai dengan pembelahan sel yang tidak terkendali dan kemampuan sel-sel tersebut untuk menyerang jaringan biologis lainnya, baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (metastasis). Pertumbuhan yang tidak terkendali tersebut disebabkan kerusakan DNA, menyebabkan mutasi di gen vital yang mengontrol pembelahan sel. Beberapa buah mutasi mungkin dibutuhkan untuk mengubah sel normal menjadi sel kanker. Mutasi-mutasi tersebut sering diakibatkan agen kimia maupun fisik yang disebut karsinogen. Mutasi dapat terjadi secara spontan (diperoleh) ataupun diwariskan (mutasi germline).Kanker dapat menyebabkan banyak gejala yang berbeda, bergantung pada lokasinya dan karakter dari keganasan dan apakah ada metastasis. Sebuah diagnosis yang menentukan biasanya membutuhkan pemeriksaan mikroskopik jaringan yang diperoleh dengan biopsi. Setelah didiagnosis, kanker biasanya dirawat dengan operasi, kemoterapi dan/atau radiasi.

Bila tak terawat, kebanyakan kanker menyebabkan kematian; kanker adalah salah satu penyebab utama kematian di negara berkembang. Kebanyakan kanker dapat dirawat dan banyak disembuhkan, terutama bila perawatan dimulai sejak awal. Banyak bentuk kanker berhubungan dengan faktor lingkungan yang sebenarnya bisa dihindari. Merokok tembakau dapat menyebabkan banyak kanker dari faktor lingkungan lainnya.

Tumor (bahasa Latin; pembengkakan) menunjuk massa jaringan yang tidak normal, tetapi dapat berupa "ganas" (bersifat kanker) atau "jinak" (tidak bersifat kanker). Hanya tumor ganas yang mampu menyerang jaringan lainnya ataupun bermetastasis.

Mendiagnosa kanker

Kebanyakan kanker dikenali karena tanda atau gejala tampak atau melalui "screening". Kedua ini tidak menuju ke diagnosis yang jelas, yang biasanya membutuhkan sebuah biopsi. Beberapa kanker ditemukan secara tidak sengaja pada saat evaluasi medis dari masalah yang tak berhubungan.
[sunting] Riset kanker

Riset kanker merupakan usaha ilmiah yang banyak ditekuni untuk memahami proses penyakit dan menemukan terapi yang memungkinkan. Meskipun pemahaman kanker memiliki tumbuh secara eksponen sejak dekade terakhir dari abad ke-20, terapi baru yang radikal hanya ditemukan dan diperkenalkan secara bertahap.

Penghambat tyrosine kinases (imatinib dan gefitinib) pada akhir 1990-an dianggap sebuah terobosan utama; mereka mengganggu terutama dengan protein tumor-tertentu. Antibodi monoclonal telah terbukti sebuah langkah besar dalam perawatan oncological.

Senin, 21 Desember 2009

Farmakoterapi Nyeri


Pengertian nyeri

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).

Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan

Fisiologi nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.

Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.

Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :

a. Reseptor A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan

b. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.

Teori Pengontrolan nyeri (Gate control theory)

Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007)

Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.

Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005)

Respon Psikologis

respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien.

Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain :

1) Bahaya atau merusak

2) Komplikasi seperti infeksi

3) Penyakit yang berulang

4) Penyakit baru

5) Penyakit yang fatal

6) Peningkatan ketidakmampuan

7) Kehilangan mobilitas

8) Menjadi tua

9) Sembuh

10) Perlu untuk penyembuhan

11) Hukuman untuk berdosa

12) Tantangan

13) Penghargaan terhadap penderitaan orang lain

14) Sesuatu yang harus ditoleransi

15) Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki

Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya

Respon fisiologis terhadap nyeri

1) Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)

a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate

b) Peningkatan heart rate

c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP

d) Peningkatan nilai gula darah

e) Diaphoresis

f) Peningkatan kekuatan otot

g) Dilatasi pupil

h) Penurunan motilitas GI

2) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)

a) Muka pucat

b) Otot mengeras

c) Penurunan HR dan BP

d) Nafas cepat dan irreguler

e) Nausea dan vomitus

f) Kelelahan dan keletihan

Respon tingkah laku terhadap nyeri

1) Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:

2) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)

3) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)

4) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan

5) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan nyeri)

Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.

Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:

1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)

Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.

2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)

Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.

Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.

Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.

3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)

Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.

Faktor yang mempengaruhi respon nyeri

1) Usia

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.

2) Jenis kelamin

Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).

3) Kultur

Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.

4) Makna nyeri

Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.

5) Perhatian

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.

6) Ansietas

Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas.

7) Pengalaman masa lalu

Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.

8) Pola koping

Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.

9) Support keluarga dan sosial

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan

Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).

Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :

1) skala intensitas nyeri deskritifskala intensitas nyeri deskritif

2) Skala identitas nyeri numerik

Skala identitas nyeri numerik

3) Skala analog visual

Skala analog visual

4) Skala nyeri menurut bourbanis

Skala nyeri menurut bourbanis

Keterangan :

0 :Tidak nyeri

1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi

dengan baik.

4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,

menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.

7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat

mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi

10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi

berkomunikasi, memukul.

Karakteristik paling subyektif pada nyeri adlah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.

Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).

Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).

Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).



sumber

Priharjo, R (1993). Perawatan Nyeri, pemenuhan aktivitas istirahat. Jakarta : EGC hal : 87.

Shone, N. (1995). Berhasil Mengatasi Nyeri. Jakarta : Arcan. Hlm : 76-80

Ramali. A. (2000). Kamus Kedokteran : Arti dan Keterangan Istilah. Jakarta : Djambatan.

Syaifuddin. (1997). Anatomi fisiologi untuk siswa perawat.edisi-2. Jakarta : EGC. Hlm : 123-136.

Tamsuri, A. (2007). Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC. Hlm 1-63

Potter. (2005). Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik. Jakarta: EGC. Hlm 1502-1533.

ASMA


Asma adalah suatu keadaan di mana saluran nafas mengalami penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan; penyempitan ini bersifat sementara.
Penyebab

Pada penderita asma, penyempitan saluran pernafasan merupakan respon terhadap rangsangan yang pada paru-paru normal tidak akan mempengaruhi saluran pernafasan. Penyempitan ini dapat dipicu oleh berbagai rangsangan, seperti serbuk sari, debu, bulu binatang, asap, udara dingin dan olahraga.

Pada suatu serangan asma, otot polos dari bronki mengalami kejang dan jaringan yang melapisi saluran udara mengalami pembengkakan karena adanya peradangan (inflamasi) dan pelepasan lendir ke dalam saluran udara. Hal ini akan memperkecil diameter dari saluran udara (disebut bronkokonstriksi) dan penyempitan ini menyebabkan penderita harus berusaha sekuat tenaga supaya dapat bernafas.

Sel-sel tertentu di dalam saluran udara (terutama sel mast) diduga bertanggungjawab terhadap awal mula terjadinya penyempitan ini. Sel mast di sepanjang bronki melepaskan bahan seperti histamin dan leukotrien yang menyebabkan terjadinya: - kontraksi otot polos - peningkatan pembentukan lendir - perpindahan sel darah putih tertentu ke bronki. Sel mast mengeluarkan bahan tersebut sebagai respon terhadap sesuatu yang mereka kenal sebagai benda asing (alergen), seperti serbuk sari, debu halus yang terdapat di dalam rumah atau bulu binatang.

Tetapi asma juga bisa terjadi pada beberapa orang tanpa alergi tertentu. Reaksi yang sama terjadi jika orang tersebut melakukan olah raga atau berada dalam cuaca dingin. Stres dan kecemasan juga bisa memicu dilepaskannya histamin dan leukotrien.

Sel lainnya (eosnofil) yang ditemukan di dalam saluran udara penderita asma melepaskan bahan lainnya (juga leukotrien), yang juga menyebabkan penyempitan saluran udara.
[sunting] Gejala

Frekuensi dan beratnya serangan asma bervariasi. Beberapa penderita lebih sering terbebas dari gejala dan hanya mengalami serangan serangan sesak nafas yang singkat dan ringan, yang terjadi sewaktu-waktu. Penderita lainnya hampir selalu mengalami batuk dan mengi (bengek) serta mengalami serangan hebat setelah menderita suatu infeksi virus, olah raga atau setelah terpapar oleh alergen maupun iritan. Menangis atau tertawa keras juga bisa menyebabkan timbulnya gejala.

Suatu serangan asma dapat terjadi secara tiba-tiba ditandai dengan nafas yang berbunyi (wheezing, mengi, bengek), batuk dan sesak nafas. Bunyi mengi terutama terdengar ketika penderita menghembuskan nafasnya. Di lain waktu, suatu serangan asma terjadi secara perlahan dengan gejala yang secara bertahap semakin memburuk. Pada kedua keadaan tersebut, yang pertama kali dirasakan oleh seorang penderita asma adalah sesak nafas, batuk atau rasa sesak di dada. Serangan bisa berlangsung dalam beberapa menit atau bisa berlangsung sampai beberapa jam, bahkan selama beberapa hari.

Gejala awal pada anak-anak bisa berupa rasa gatal di dada atau di leher. Batuk kering di malam hari atau ketika melakukan olah raga juga bisa merupakan satu-satunya gejala.

Selama serangan asma, sesak nafas bisa menjadi semakin berat, sehingga timbul rasa cemas. Sebagai reaksi terhadap kecemasan, penderita juga akan mengeluarkan banyak keringat.

Pada serangan yang sangat berat, penderita menjadi sulit untuk berbicara karena sesaknya sangat hebat. Kebingungan, letargi (keadaan kesadaran yang menurun, dimana penderita seperti tidur lelap, tetapi dapat dibangunkan sebentar kemudian segera tertidur kembali) dan sianosis (kulit tampak kebiruan) merupakan pertanda bahwa persediaan oksigen penderita sangat terbatas dan perlu segera dilakukan pengobatan. Meskipun telah mengalami serangan yang berat, biasanya penderita akan sembuh sempurna,

Kadang beberapa alveoli (kantong udara di paru-paru) bisa pecah dan menyebabkan udara terkumpul di dalam rongga pleura atau menyebabkan udara terkumpul di sekitar organ dada. Hal ini akan memperburuk sesak yang dirasakan oleh penderita.
[sunting] Diagnosa

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejalanya yang khas.

Untuk memperkuat diagnosis bisa dilakukan pemeriksaan spirometri berulang. Spirometri juga digunakan untuk menilai beratnya penyumbatan saluran udara dan untuk memantau pengobatan.

Menentukan faktor pemicu asma seringkali tidak mudah. Tes kulit alergi bisa membantu menentukan alergen yang memicu timbulnya gejala asma. Jika diagnosisnya masih meragukan atau jika dirasa sangat penting untuk mengetahui faktor pemicu terjadinya asma, maka bisa dilakukan bronchial challenge test.
[sunting] Pengobatan

Obat-obatan bisa membuat penderita asma menjalani kehidupan normal. Pengobatan segera untuk mengendalikan serangan asma berbeda dengan pengobatan rutin untuk mencegah serangan.

Agonis reseptor beta-adrenergik merupakan obat terbaik untuk mengurangi serangan asma yang terjadi secara tiba-tiba dan untuk mencegah serangan yang mungkin dipicu oleh olahraga. Bronkodilator ini merangsang pelebaran saluran udara oleh reseptor beta-adrenergik.

Bronkodilator yang yang bekerja pada semua reseptor beta-adrenergik (misalnya adrenalin), menyebabkan efek samping berupa denyut jantung yang cepat, gelisah, sakit kepala dan tremor (gemetar) otot. Bronkodilator yang hanya bekerja pada reseptor beta2-adrenergik (yang terutama ditemukan di dalam sel-sel di paru-paru), hanya memiliki sedikit efek samping terhadap organ lainnya. Bronkodilator ini (misalnya albuterol), menyebabkan lebih sedikit efek samping dibandingkan dengan bronkodilator yang bekerja pada semua reseptor beta-adrenergik.

Sebagian besar bronkodilator bekerja dalam beberapa menit, tetapi efeknya hanya berlangsung selama 4-6 jam. Bronkodilator yang lebih baru memiliki efek yang lebih panjang, tetapi karena mula kerjanya lebih lambat, maka obat ini lebih banyak digunakan untuk mencegah serangan.

Bronkodilator tersedia dalam bentuk tablet, suntikan atau inhaler (obat yang dihirup) dan sangat efektif. Penghirupan bronkodilator akan mengendapkan obat langsung di dalam saluran udara, sehingga mula kerjanya cepat, tetapi tidak dapat menjangkau saluran udara yang mengalami penyumbatan berat. Bronkodilator per-oral (ditelan) dan suntikan dapat menjangkau daerah tersebut, tetapi memiliki efek samping dan mula kerjanya cenderung lebih lambat.

Jenis bronkodilator lainnya adalah theophylline. Theophylline biasanya diberikan per-oral (ditelan); tersedia dalam berbagai bentuk, mulai dari tablet dan sirup short-acting sampai kapsul dan tablet long-acting. Pada serangan asma yang berat, bisa diberikan secara intravena (melalui pembuluh darah).

Jumlah theophylline di dalam darah bisa diukur di laboratorium dan harus dipantau secara ketat, karena jumlah yang terlalu sedikit tidak akan memberikan efek, sedangkan jumlah yang terlalu banyak bisa menyebabkan irama jantung abnormal atau kejang. Pada saat pertama kali mengkonsumsi theophylline, penderita bisa merasakan sedikit mual atau gelisah. Kedua efek samping tersebut, biasanya hilang saat tubuh dapat menyesuaikan diri dengan obat. Pada dosis yang lebih besar, penderita bisa merasakan denyut jantung yang cepat atau palpitasi (jantung berdebar). Juga bisa terjadi insomnia (sulit tidur), agitasi (kecemasan, ketakuatan), muntah, dan kejang.

Corticosteroid menghalangi respon peradangan dan sangat efektif dalam mengurangi gejala asma. Jika digunakan dalam jangka panjang, secara bertahap corticosteroid akan menyebabkan berkurangnya kecenderungan terjadinya serangan asma dengan mengurangi kepekaan saluran udara terhadap sejumlah rangsangan.

Tetapi penggunaan tablet atau suntikan corticosteroid jangka panjang bisa menyebabkan:

* gangguan proses penyembuhan luka
* terhambatnya pertumbuhan anak-anak
* hilangnya kalsium dari tulang
* perdarahan lambung
* katarak prematur
* peningkatan kadar gula darah
* penambahan berat badan
* kelaparan
* kelainan mental.

Tablet atau suntikan corticosteroid bisa digunakan selama 1-2 minggu untuk mengurangi serangan asma yang berat. Untuk penggunaan jangka panjang biasanya diberikan inhaler corticosteroid karena dengan inhaler, obat yang sampai di paru-paru 50 kali lebih banyak dibandingkan obat yang sampai ke bagian tubuh lainnya. Corticosteroid per-oral (ditelan) diberikan untuk jangka panjang hanya jika pengobatan lainnya tidak dapat mengendalikan gejala asma.

Cromolin dan nedocromil diduga menghalangi pelepasan bahan peradangan dari sel mast dan menyebabkan berkurangnya kemungkinan pengkerutan saluran udara. Obat ini digunakan untuk mencegah terjadinya serangan, bukan untuk mengobati serangan. Obat ini terutama efektif untuk anak-anak dan untuk asma karena olah raga. Obat ini sangat aman, tetapi relatif mahal dan harus diminum secara teratur meskipun penderita bebas gejala.

Obat antikolinergik (contohnya atropin dan ipratropium bromida) bekerja dengan menghalangi kontraksi otot polos dan pembentukan lendir yang berlebihan di dalam bronkus oleh asetilkolin. Lebih jauh lagi, obat ini akan menyebabkan pelebaran saluran udara pada penderita yang sebelumnya telah mengkonsumsi agonis reseptor beta2-adrenergik.

Pengubah leukotrien (contohnya montelucas, zafirlucas dan zileuton) merupakan obat terbaru untuk membantu mengendalikan asma. Obat ini mencegah aksi atau pembentukan leukotrien (bahan kimia yang dibuat oleh tubuh yang menyebabkan terjadinya gejala-gejala asma).
[sunting] Pengobatan
[sunting] Pengobatan untuk serangan jantung

Suatu serangan asma harus mendapatkan pengobatan sesegera mungkin untuk membuka saluran pernafasan. Obat yang digunakan untuk mencegah juga digunakan untuk mengobati asma, tetapi dalam dosis yang lebih tinggi atau dalam bentuk yang berbeda.

Agonis reseptor beta-adrenergik digunakan dalam bentuk inhaler (obat hirup) atau sebagai nebulizer (untuk sesak nafas yang sangat berat). Nebulizer mengarahkan udara atau oksigen dibawah tekanan melalui suatu larutan obat, sehingga menghasilkan kabut untuk dihirup oleh penderita.

Pengobatan asma juga bisa dilakukan dengan memberikan suntikan epinephrine atau terbutaline di bawah kulit dan aminophylline (sejenis theophylline) melalui infus intravena.

Penderita yang mengalami serangan hebat dan tidak menunjukkan perbaikan terhadap pengobatan lainnya, bisa mendapatkan suntikan corticosteroid, biasanya secara intravena (melalui pembuluh darah).

Pada serangan asma yang berat biasanya kadar oksigen darahnya rendah, sehingga diberikan tambahan oksigen. Jika terjadi dehidrasi, mungkin perlu diberikan cairan intravena. Jika diduga terjadi infeksi, diberikan antibiotik.

Selama suatu serangan asma yang berat, dilakukan:

* pemeriksaan kadar oksigen dan karbondioksida dalam darah
* pemeriksaan fungsi paru-paru (biasanya dengan spirometer atau peak flow meter)
* pemeriksaan rontgen dada.

[sunting] Pengobatan Jangka Panjang

Salah satu pengobatan asma yang paling efektif adalah inhaler yang mengandung agonis reseptor beta-adrenergik. Penggunaan inhaler yang berlebihan bisa menyebabkan terjadinya gangguan irama jantung.

Jika pemakaian inhaler bronkodilator sebanyak 2-4 kali/hari selama 1 bulan tidak mampu mengurangi gejala, bisa ditambahkan inhaler corticosteroid, cromolin atau pengubah leukotrien. Jika gejalanya menetap, terutama pada malam hari, juga bisa ditambahkan theophylline per-oral.
[sunting] Pencegahan

Serangan asma dapat dicegah jika faktor pemicunya diketahui dan bisa dihindari. Serangan yang dipicu oleh olah raga bisa dihindari dengan meminum obat sebelum melakukan olah raga.

HIPERTENSI


Hipertensi atau Darah Tinggi adalah keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah diatas normal atau kronis (dalam waktu yang lama). Hipertensi merupakan kelainan yang sulit diketahui oleh tubuh kita sendiri. Satu-satunya cara untuk mengetahui hipertensi adalah dengan mengukur tekanan darah kita secara teratur.



Diketahui 9 dari 10 orang yang menderita hipertensi tidak dapat diidentifikasi penyebab penyakitnya. Itulah sebabnya hipertensi dijuluki pembunuh diam-diam atau silent killer. Seseorang baru merasakan dampak gawatnya hipertensi ketika telah terjadi komplikasi. Jadi baru disadari ketika telah menyebabkan gangguan organ seperti gangguan fungsi jantung, koroner, fungsi ginjal, gangguan fungsi kognitif atau stroke .Hipertensi pada dasarnya mengurangi harapan hidup para penderitanya.

Hipertensi selain mengakibatkan angka kematian yang tinggi (high case fatality rate) juga berdampak kepada mahalnya pengobatan dan perawatan yang harus ditanggung para penderita. Perlu pula diingat hipertensi berdampak pula bagi penurunan kualitas hidup.

Hipertensi sebenarnya dapat diturunkan dari orang tua kepada anaknya. Jika salah satu orang tua terkena Hipertensi, maka kecenderungan anak untuk menderita Hipertensi adalah lebih besar dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki orang tua penderita Hipertensi.

Diagnosis

Secara umum seseorang dikatakan menderita hipertensi jika tekanan darah sistolik/diastoliknya melebihi 140/90 mmHg (normalnya 120/80 mmHg). Sistolik adalah tekanan darah pada saat jantung memompa darah ke dalam pembuluh nadi (saat jantung mengkerut). Diastolik adalah tekanan darah pada saat jantung mengembang dan menyedot darah kembali (pembuluh nadi mengempis kosong).


Sebetulnya batas antara tekanan darah normal dan tekanan darah tinggi tidaklah jelas, sehingga klasifikasi Hipertensi dibuat berdasarkan tingkat tingginya tekanan darah yang mengakibatkan peningkatan resiko penyakit jantung dan pembuluh darah.

Menurut WHO, di dalam guidelines terakhir tahun 1999, batas tekanan darah yang masih dianggap normal adalah kurang dari 130/85 mmHg, sedangkan bila lebih dari 140/90 mmHG dinyatakan sebagai hipertensi; dan di antara nilai tsb disebut sebagai normal-tinggi. (batasan tersebut diperuntukkan bagi individu dewasa diatas 18 tahun).

Gejala

Mekanisme Terjadinya Hipertensi Gejala-gejala hipertensi antara lain pusing, muka merah, sakit kepala, keluar darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal, dan lain-lain. Dampak yang dapat ditimbulkan oleh hipertensi adalah kerusakan ginjal, pendarahan pada selaput bening (retina mata), pecahnya pembuluh darah di otak, serta kelumpuhan.

Penyebab
Berdasarkan penyebabnya, Hipertensi dapat digolongkan menjadi 2 yaitu :

1. Hipertensi esensial atau primer

Penyebab pasti dari hipertensi esensial sampai saat ini masih belum dapat diketahui. Namun, berbagai faktor diduga turut berperan sebagai penyebab hipertensi primer, seperti bertambahnya umur, stres psikologis, dan hereditas (keturunan). Kurang lebih 90% penderita hipertensi tergolong Hipertensi primer sedangkan 10% nya tergolong hipertensi sekunder.

2. Hipertensi sekunder/li>

Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui, antara lain kelainan pembuluh darah ginjal, gangguan kelenjar tiroid (hipertiroid), penyakit kelenjar adrenal (hiperaldosteronisme), dan lain lain. Karena golongan terbesar dari penderita hipertensi adalah hipertensia esensial, maka penyelidikan dan pengobatan lebih banyak ditujukan ke penderita hipertensi esensial.

Berdasarkan faktor akibat Hipertensi terjadi peningkatan tekanan darah di dalam arteri bisa terjadi melalui beberapa cara:


- Jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya

- Terjadi penebalan dan kekakuan pada dinding arteri akibat usia lanjut. Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, sehingga mereka tidak dapat mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut. Karena itu darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang sempit daripada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan.

- Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya tekanan darah. Hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi ginjal sehingga tidak mampu membuang sejumlah garam dan air dari dalam tubuh. Volume darah dalam tubuh meningkat, sehingga tekanan darah juga meningkat.

Oleh sebab itu, jika aktivitas memompa jantung berkurang, arteri mengalami pelebaran, dan banyak cairan keluar dari sirkulasi. Maka tekanan darah akan menurun atau menjadi lebih kecil.

Berdasarkan faktor pemicu, Hipertensi dibedakan atas yang tidak dapat dikontrol seperti umur, jenis kelamin, dan keturunan. Pada 70-80% kasus Hipertensi primer, didapatkan riwayat hipertensi di dalam keluarga. Apabila riwayat hipertensi didapatkan pada kedua orang tua, maka dugaan Hipertensi primer lebih besar. Hipertensi juga banyak dijumpai pada penderita kembar monozigot (satu telur), apabila salah satunya menderita Hipertensi. Dugaan ini menyokong bahwa faktor genetik mempunyai peran didalam terjadinya Hipertensi.

Sedangkan yang dapat dikontrol seperti kegemukan/obesitas, stress, kurang olahraga, merokok, serta konsumsi alkohol dan garam. Faktor lingkungan ini juga berpengaruh terhadap timbulnya hipertensi esensial. Hubungan antara stress dengan Hipertensi, diduga melalui aktivasi saraf simpatis. Saraf simpatis adalah saraf yang bekerja pada saat kita beraktivitas, saraf parasimpatis adalah saraf yang bekerja pada saat kita tidak beraktivitas.

Peningkatan aktivitas saraf simpatis dapat meningkatkan tekanan darah secara intermitten (tidak menentu). Apabila stress berkepanjangan, dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti, akan tetapi angka kejadian di masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan pengaruh stress yang dialami kelompok masyarakat yang tinggal di kota.

Berdasarkan penyelidikan, kegemukan merupakan ciri khas dari populasi Hipertensi dan dibuktikan bahwa faktor ini mempunyai kaitan yang erat dengan terjadinya Hipertensi dikemudian hari. Walaupun belum dapat dijelaskan hubungan antara obesitas dan hipertensi esensial, tetapi penyelidikan membuktikan bahwa daya pompa jantung dan sirkulasi volume darah penderita obesitas dengan hipertensi lebih tinggi dibandingan dengan penderita yang mempunyai berat badan normal.


Pencegahan

Hipertensi dapat dicegah dengan pengaturan pola makan yang baik dan aktivitas fisik yang cukup. Hindari kebiasaan lainnya seperti merokok dan mengkonsumsi alkohol diduga berpengaruh dalam meningkatkan resiko Hipertensi walaupun mekanisme timbulnya belum diketahui pasti.


Pengobatan

Olah raga lebih banyak dihubungkan dengan pengobatan hipertensi, karena olah raga isotonik (spt bersepeda, jogging, aerobic) yang teratur dapat memperlancar peredaran darah sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Olah raga juga dapat digunakan untuk mengurangi/ mencegah obesitas dan mengurangi asupan garam ke dalam tubuh (tubuh yang berkeringat akan mengeluarkan garam lewat kulit).

Pengobatan hipertensi secara garis besar dibagi menjadi 2 jenis yaitu:

1. Pengobatan non obat (non farmakologis)
2. Pengobatan dengan obat-obatan (farmakologis)


Pengobatan non obat (non farmakologis)

Pengobatan non farmakologis kadang-kadang dapat mengontrol tekanan darah sehingga pengobatan farmakologis menjadi tidak diperlukan atau sekurang-kurangnya ditunda. Sedangkan pada keadaan dimana obat anti hipertensi diperlukan, pengobatan non farmakologis dapat dipakai sebagai pelengkap untuk mendapatkan efek pengobatan yang lebih baik.


Pengobatan non farmakologis diantaranya adalah :

1. Diet rendah garam/kolesterol/lemak jenuh
2. Mengurangi asupan garam ke dalam tubuh.

Nasehat pengurangan garam, harus memperhatikan kebiasaan makan penderita. Pengurangan asupan garam secara drastis akan sulit dilaksanakan. Cara pengobatan ini hendaknya tidak dipakai sebagai pengobatan tunggal, tetapi lebih baik digunakan sebagai pelengkap pada pengobatan farmakologis.

3. Ciptakan keadaan rileks

Berbagai cara relaksasi seperti meditasi, yoga atau hipnosis dapat mengontrol sistem saraf yang akhirnya dapat menurunkan tekanan darah.

4. Melakukan olah raga seperti senam aerobik atau jalan cepat selama 30-45 menit sebanyak 3-4 kali seminggu.

5. Berhenti merokok dan mengurangi konsumsi alkohol


Pengobatan dengan obat-obatan (farmakologis)

Obat-obatan antihipertensi. Terdapat banyak jenis obat antihipertensi yang beredar saat ini. Untuk pemilihan obat yang tepat diharapkan menghubungi dokter.

* Diuretik

Obat-obatan jenis diuretik bekerja dengan cara mengeluarkan cairan tubuh (lewat kencing) sehingga volume cairan ditubuh berkurang yang mengakibatkan daya pompa jantung menjadi lebih ringan.

Contoh obatannya adalah Hidroklorotiazid.

* Penghambat Simpatetik

Golongan obat ini bekerja dengan menghambat aktivitas saraf simpatis (saraf yang bekerja pada saat kita beraktivitas ).

Contoh obatnya adalah : Metildopa, Klonidin dan Reserpin.


* Betabloker

Mekanisme kerja anti-hipertensi obat ini adalah melalui penurunan daya pompa jantung. Jenis betabloker tidak dianjurkan pada penderita yang telah diketahui mengidap gangguan pernapasan seperti asma bronkial.

Contoh obatnya adalah : Metoprolol, Propranolol dan Atenolol. Pada penderita diabetes melitus harus hati-hati, karena dapat menutupi gejala hipoglikemia (kondisi dimana kadar gula dalam darah turun menjadi sangat rendah yang bisa berakibat bahaya bagi penderitanya). Pada orang tua terdapat gejala bronkospasme (penyempitan saluran pernapasan) sehingga pemberian obat harus hati-hati.


* Vasodilator

Obat golongan ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot polos (otot pembuluh darah). Yang termasuk dalam golongan ini adalah : Prasosin, Hidralasin. Efek samping yang kemungkinan akan terjadi dari pemberian obat ini adalah : sakit kepala dan pusing.


* Penghambat ensim konversi Angiotensin

Cara kerja obat golongan ini adalah menghambat pembentukan zat Angiotensin II (zat yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah).

Contoh obat yang termasuk golongan ini adalah Kaptopril. Efek samping yang mungkin timbul adalah : batuk kering, pusing, sakit kepala dan lemas.


* Antagonis kalsium

Golongan obat ini menurunkan daya pompa jantung dengan cara menghambat kontraksi jantung (kontraktilitas). Yang termasuk golongan obat ini adalah : Nifedipin, Diltiasem dan Verapamil. Efek samping yang mungkin timbul adalah : sembelit, pusing, sakit kepala dan muntah.


* Penghambat Reseptor Angiotensin II

Cara kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat Angiotensin II pada reseptornya yang mengakibatkan ringannya daya pompa jantung. Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah Valsartan (Diovan). Efek samping yang mungkin timbul adalah : sakit kepala, pusing, lemas dan mual.

Dengan pengobatan dan kontrol yang teratur, serta menghindari faktor resiko terjadinya hipertensi, maka angka kematian akibat penyakit ini bisa ditekan.

Minggu, 20 Desember 2009

Virus VS Bakteri: Apakah Antibiotik Diperlukan?


BILA anak sakit, satu-satunya hal di pikiran Anda adalah bagaimana membuat dia merasa lebih baik. Sakit tenggorokan, sakit perut maupun pilek, terkadang anak Anda memerlukan satu resep antibiotik. Boys Town Pediatrik menawarkan tips untuk orang tua mengenai pengertian kapan antibiotik dapat membantu proses penyembuhan dan kapan antibiotik justru tidak bisa membantu dan malah merugikan.

Antibiotik hanya efektif terhadap infeksi bakteri. Antibiotik tidak akan bekerja terhadap infeksi virus, yang jauh lebih umum pada anak-anak. Infeksi bakteri yang mungkin memerlukan perawatan dengan antibiotik termasuk infeksi telinga dan sinus, radang tenggorokan dan batuk rejan. Infeksi virus yang tidak akan dirawat oleh antibiotik termasuk flu, penyakit batuk yang disertai dengan sesak nafas, kebanyakan kasus bronkitis dan 99% penyakit yang disertai dengan muntah dan diare.

Antibiotik dapat mencegah komplikasi serius dari infeksi bakteri dan bahkan bisa menghindarkan seseorang dari kematian. Namun, penggunaan antibiotik yang terus menerus (overuse) dan dosis yang tidak tepat dapat menyebabkan seseorang menjadi kebal, sehingga antibiotik menjadi tidak berfungsi lagi untuk melawan infeksi bakteri berbahaya. Oleh karena itu, anda seharusnya tidak mengharapkan atau meminta dokter anak Anda untuk langsung memberikan sebuah resep antibiotik bila dia sakit. Sebaliknya, biarkan dokter memeriksa anak Anda dan membuat keputusan apakah penggunaan antibiotik benar-benar diperlukan. Dengan menggunakan antibiotik secara tepat akan sangat membantu bila diperlukan.

Jika anak Anda terinfeksi oleh bakteri dan dokter memberikan resep antibiotik, maka sangat penting untuk mengetahui hal-hal berikut ini:

* Selalu menyelesaikan seluruh resep. Menghentikan pemberian antibiotik sebelum dosis yang diberikan habis dapat berakibat pada munculnya kembali bakteri.
* Jangan menyimpan antibiotik untuk penggunaan di kemudian hari. Jangan berbagi dengan orang lain. Menggunakan hanya sebagian dosis antibiotik, dapat membuat bakteri yang tersisa menjadi kebal.
* Jika anak Anda mengalami sakit perut dan atau mengalami diare, ketika dalam pengobatan dengan antibiotik, segera bicaralah dengan dokter Anda mengenai langkah-langkah untuk menanganinya. Jika muncul ruam dan terus berkembang, maka anak Anda harus diperiksa oleh seorang dokter untuk menentukan apakah dia alergi obat. Sehingga jika memang anak Anda memiliki alergi terhadap obat, maka ingatkan kepada dokter anak anda tentang hal itu jika di kemudian hari dia terinfeksi bakteri lagi.

Lepas dari itu semua, ingatlah jika antibiotik tidak diresepkan untuk anak Anda yang sakit, masih banyak hal yang dapat Anda lakukan untuk membantu dia merasa lebih baik. Memastikan anak Anda minum lebih banyak cairan atau air putih, sangat penting untuk menghindarkannya dari dehidrasi. Bantulah dia untuk istirahat dengan cukup agar bisa mempercepat proses penyembuhan. Penggunaan obat yang sembarangan dapat menimbulkan efek samping yang berbahaya bagi anak anda, selalu konsultasikan dengan dokter anak anda.

Bagaimana infeksi bakteri dan virus menyebar?

Keduanya, infeksi bakteri maupun virus menyebar dengan cara yang sama:

* Bersin / batuk
* Jabat tangan
* Makan dengan kondisi tangan yang kotor
* Kontak dengan penderita melalui cairan tubuh seperti darah dan air liur

Benar-benar tidak ada cara untuk mencegah anak Anda dari kontak dengan kuman, tetapi ada langkah-langkah yang dapat Anda lakukan untuk mencegah mereka dari penyebarannya. Membiasakan anak Anda untuk mencuci tangannya sebelum dan sesudah makan dan juga sebelum dan sesudah bermain dengan mainannya. Menjaga kebersihan tangan sangatlah mudah, cukup efektif walau hanya dengan sabun dan air. Jika anak anda sakit, hindarkan dia dari aktivitas sehari-sehari, sekolah, ke toko bahan makanan maupun tempat umum lainnya, hal ini untuk mencegah penyebaran virus maupun bakteri yang menjadi penyebab si kecil sakit.

Apakah perbedaan antara virus dan bakteri?

Virus tidak harus hidup dan tinggal di dalam sel untuk tumbuh. Sistem kekebalan tubuhlah yang harus menyingkirkannya atau membiarkannya tetap di dalam tubuh kita. Infeksi virus biasanya disertai dengan gejala-gejala seperti sakit tenggorokan, pilek, kongesti, muntah dan diare.

Bakteri adalah organisme hidup dan dapat ditemukan di mana-mana. Ada waktu saat sistem kekebalan tubuh tidak dapat menyingkirkan suatu infeksi bakteri. Antibiotik berfungsi untuk membunuh bakteri dan menghentikan pertumbuhannya. Infeksi bakteri sering terjadi bersamaan dengan adanya rasa sakit, nyeri atau borok pada bagian tubuh kita.

Dengan pemeriksaan yang teliti oleh dokter anak Anda akan membantu untuk menentukan jenis infeksi yang menyebabkan anak anda sakit.

Antibiotik Amoksisilin


Kemarin selepas jam kerja saya ke dokter gigi untuk memeriksa kondisi gigi geraham kanan atas yang mulai berlubang. Sudah satu setengah tahun sejak terakhir gigi geraham bungsu kiri atas terpaksa dicabut karena tumbuh menyamping ke arah pipi. Oh ya, pertama kali ke dokter gigi bulan Oktober 2001 untuk mencabut geraham kiri bawah yang hancur karena didesak geraham bungsunya.

Dokter yang saya kunjungi atas saran kakak saya adalah Prof. Dr. H. R. Moh. Richata Fadil, drg. dengan ijin praktik KP. 01.01.03.822. Sambil menunggu giliran nomer undian 9 saya membaca novel Eka Kurniawan: Lelaki Harimau dan layar kaca di ruang tunggu sedang menyiarkan stasiun TV Indosiar dengan film India Kuch Kuch Hota Hai yang membuat marak film India di kampus tahun 1998 lalu.

Dugaan saya gigi yang bermasalah sekarang harus ditambal dan ternyata benar. Gigi saya dikorek-korek untuk dibersihkan yang sempat membuat sekali badan saya tersentak karena sakit dan ngilu ketika syaraf gigi tersentuh oleh alat pengorek entah namanya apa. Kemudian ditutup sementara untuk tiga hari yang fungsinya untuk mensterilkan lubang dengan entah namanya apa, dirasai oleh lidah teksturnya seperti kertas.

Kemudian dokter memberi resep, terlihat menulis resep untuk dua jenis obat, satu antibiotik dan satu lagi anti-sakit (painkiller), sambil mengobrol tentang tambalan giginya yang sudah puluhan tahun. Lupa menanyakan siapa yang menambal giginya!

Di apotek saya membeli antibiotiknya saja atas persetujuan dokter karena saya hampir tidak pernah memakan obat jenis painkiller selain parasetamol alias asetaminofin. Rupanya gigi menjadi sakit dan ngilu, tapi hanya berlangsung sekitar satu jam dan mulai memakan antibiotik bermerek Amoxan produksi Sanbe Farma yang ternyata jumlahnya 15 butir. Banyak amat!

Amoxicillin

Amoxan adalah merek antibiotik dari jenis amoksisilin, tepatnya amoxicillin atau amoxycillin. Antibiotik adalah jenis obat yang fungsinya membunuh bakteri atau memperlambat pertumbuhan bakteri. Antibiotik merupakan salah satu kelas dari jenis obat dari grup yang lebih besar yang disebut antimikroba, jenis obat lain yang termasuk grup ini adalah seperti anti-viral, anti-fungal, dan anti-parasitic.

Antibiotik pertama kali yang ditemukan adalah penisilin oleh Ernest Duchesne, namun beberapa tahun kemudian Duchesne meninggal dunia dan penemuannya hampir dilupakan orang dan kemudian Alexander Flemming menemukan obat yang sama melalui metoda percobaan yang berbeda. Nama penisilin diambil dari nama genus jamur yang membunuh bakteri tersebut.

Amoksisilin yang memiliki struktur kimiawi C16H19N3O5S atau (2S, 5R, 6R)-6-[(R)-2-amino-2-(4-hydroxyphenyl) acetamido]-3, 3-dimethyl-7-oxo-4-thia-1-azabicyclo[3.2.0] heptane-2-carboxylic acid (jangan dibaca deh!) ditemukan tahun 1972 merupakan antibiotik yang umum dipakai karena cukup manjur dalam menyerap bakteri dan mudah diminum karena berbentuk kapsul. Hak paten amoksilin sudah habis dan kini banyak merek dagang amoksilin seperti Actimoxi®, Amoxibiotic®, Amoxicilina®, Pamoxicillin®, Lamoxy®, Polymox®, Trimox® dan Zimox®. Entah merek Amoxan yang saya beli mengambil merek dagang yang mana, atau mungkin sudah termasuk merek dagang selain yang saya temukan di atas.

Kini saya harus bersiap-siap dengan efek samping yang mungkin timbul dan tanpa perlu atensi medis yang berlebihan karena antibiotik seperti diare (yaiks!), sakit kepala, hilang selera makan, mules-mules nausea dan kentut-kentut. Semoga tidak mendapat efek samping yang harus mendapatkan atensi medis seperti:
* sulit bernapas
* sakit ketika menelan
* sulit kencing
* kejang-kejang
* pusing-pusing (dizziness)
* merasa kedinginan
* rasa haus bertambah besar
* mata atau kulit menjadi kuning

BAHAYA ANTIBIOTIK

Tidak semua orang tahu bahwa antibiotik tidak boleh dikonsumsi sembarangan. Tak semua orang tahu bahwa bila hal itu dilakukan, akibatnya justru fatal, apalagi hanya untuk penyakit-penyakit ringan. Ibaratnya, ingin membunuh satu orang mestinya cukup dengan pistol, tapi digunakan bom yang bisa menghancurkan penduduk satu kota. Selain tidak tepat penggunaan, dampak yang lebih jauh adalah bakteri dalam tubuh justru menjadi kebal.

Pengamalan Veronika mungkin bisa jadi pelajaran. Perempuan 30 tahun itu suatu ketika menderita penyakit infeksi saluran pencernaan. Oleh dokter, dia diberi antibiotik. Dua minggu kemudian, kondisi Veronika berangsur membaik.

Satu bulan kemudian, penyakitnya kambuh. Namun, dia enggan periksa ke dokter. Dia pun memutuskan membeli antibiotik yang sama dengan resep yang diberikan dokter sebulan sebelumnya. "Penyakitnya sama. Jadi, saya pikir obatnya juga sama," ujarnya.

Bukan sembuh, perut Veronika justru semakin sakit dan mual. Setelah dua hari tidak kunjung membaik, akhirnya dia memutuskan pergi ke dokter. Benar saja, antibiotik yang diminumnya tidak sesuai untuk pengobatan penyakitnya yang sekarang. "Kata dokter, bila penyakit saya sembuh dan kambuh lagi, bukan berarti obatnya harus sama," ujar wanita yang bekerja di sebuah perusahaan asuransi itu.

Mungkin saja, pengalaman Veronika pernah terjadi pada yang lain. Sebab, masyarakat kerap tidak menyadari bahwa antibiotik tidak boleh digunakan secara sembarangan. Sedikit kena penyakit flu, minum antibiotik. Kena demam dihantam dengan antibiotik. Gatal-gatal diberi antibiotik. Sakit kepala juga ditangkal dengan antibiotik.

"Padahal, tidak semua penyakit membutuhkan antibiotik. Antibiotik hanya digunakan untuk infeksi," ujar Prof Dr Kuntaman SpMK, ahli mikrobiologi RSU dr Soetomo. Misalnya, infeksi saluran kemih, sinusitis berat, atau radang tenggorokan karena infeksi kuman streptokokus (salah satu jenis bakteri).

Kuntaman menjelaskan, bahan antibiotik pertama ditemukan Alexander Fleming pada 1928. Kemudian, pada 1940-an antibiotik mulai digunakan secara luas. Waktu itu, ahli scientist dunia memprediksi, dengan ditemukannya antibiotik, pada 1960-an dunia diprediksi bersih dari penyakit infeksi.

Namun, bukannya penyakit infeksi teratasi, justru jenis bakteri baru muncul akibat resistensi terhadap penggunaan antibiotik. Bahkan, pada 1990, kata Kuntaman, di beberapa belahan dunia pernah terjadi post antibiotika era. Suatu keadaan yang antibiotik tidak berfungsi lagi. "Waktu itu, di antara 20 jenis antibiotik yang ada, hanya satu yang bisa mengobati penyakit infeksi,"jelasnya.

Pada 2001, World Health Organization (WHO) menyampaikan keprihatinan yang tinggi terhadap perkembangan bakteri resisten. WHO pun menyatakan global alert atau perang melawan bakteri resisten.

Kuntaman juga mengungkapkan, penelitian di dua rumah sakit besar di Jawa Timur dan Jawa Tengah pada 2001 menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik secara tidak bijak mencapai 80 persen. Kasus di RSU dr Soetomo, lanjut Kuntaman, angka resisten terhadap antibiotik lini pertama (penyakit infeksi ringan) bisa mencapai 90 persen dan lini kedua (infeksi sedang) mendekati 50 persen. Dalam disertasinya yang dirilis beberapa waktu lalu, Kuntaman juga menyebutkan, angka bakteri penghasil extended spectrum beta lactamase (ESBL, jenis bakteri yang sulit diobati) mencapai 29 hingga 36 persen. "Bandingkan dengan Belanda yang angkanya kurang dari satu persen," sebut pria yang bekerja di laboratorium mikrobiologi RSU dr Soetomo itu.

Karena itu, bila antibiotik tidak digunakan secara tepat, post antibiotika era diprediksi bisa terjadi pada masa depan. "Bayangkan saja, bila tidak ada satu pun obat yang mampu mengatasi penyakit infeksi," ujarnya.

Menurut Kuntaman, tingginya penggunaan antibiotik di rumah sakit akan meningkatkan angka resistensi bakteri di tempat itu. "Yang pada akhirnya menyulitkan terapi," tegasnya. Bahkan, bakteri lebih mudah mutasi, yang berarti lebih cepat resisten terhadap berbagai antibiotik.

Prof dr R Bambang Wirjatmadi MS MCN PhD SpGK, pengajar gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair, menjelaskan, antibiotik adalah obat yang dapat digunakan untuk membunuh kuman, virus, cacing, protozoa, dan jamur. "Biasanya, jika mengalami sakit dan disebabkan beberapa hal tersebut, obatnya antibiotik," ujar Bambang.

Tidak hanya itu. Antibiotik dibutuhkan saat seseorang sakit disertai demam. Jika sakitnya tidak disertai demam, belum tentu mereka membutuhkan antibiotik.

Agar tidak sembarangan dalam penggunaannya, sebaiknya masyarakat mengetahui jenis antibiotik. Di antaranya, tetracyclin yang digunakan untuk infeksi, sakit gigi, dan luka. Jenis chloramphenicol digunakan untuk penyakit tifus. Jenis griseofulfin digunakan untuk membunuh jamur serta combantrin untuk membunuh cacing.

Ada juga narrow spectrum,yang berguna untuk membunuh jenis bakteri secara spesifik. Antibiotik yang tergolong narrow spectrum adalah ampicillin dan amoxycilin. Jenis kedua ialah broad spectrum untuk membunuh semua jenis bakteri di dalam tubuh. "Dianjurkan untuk menghindari mengonsumsi antibiotik jenis ini," jelasnya.

Sebab, jenis antibiotik itu juga membunuh bakteri lainnya yang sangat berguna untuk tubuh. Antibiotik yang termasuk kategori itu adalah cephalosporin. Penyakit yang disebabkan virus tidak dapat diberikan antibiotik. Misalnya, sakit flu atau pilek. Sebab, antibiotik tidak dapat membunuh virus karena virus dapat mati sendiri, asal daya tahan tubuh penderita meningkat atau membaik. Meski begitu, dalam perkembangannya, saat ini ada antibiotik yang dikembangkan untuk membunuh virus.

Menurut Bambang, penggunaan antibiotik tidak pada tempatnya dan berlebihan dapat membahayakan kesehatan. Misalnya, mengakibatkan gangguan saluran pencernaan (diare, mual, muntah). "Efek samping ini sering terjadi," ujar alumnus FK Unair itu.

Selain itu, penderita bisa mengalami reaksi alergi. Mulai yang ringan seperti ruam dan gatal hingga berat seperti pembengkakan bibir, kelopak mata, sampai gangguan napas. "Karena itu, apabila memiliki alergi, sebaiknya hati-hati dalam penggunaan penycillin. Sebab, bisa jadi dia juga alergi dengan antibiotik tersebut," ujar pria asal Wonogiri, Jawa Tengah, itu.

Efek yang terjadi bisa ringan hingga berat. Pasien bisa mengalami anaphylatic shock atau shock karena penggunaan antibiotik tersebut. Lebih berbahaya lagi, obat itu juga bisa mengakibatkan kelainan hati. Seperti diketahui, antibiotik memiliki bahan dasar kimia. Selain berfungsi membunuh kuman, bahan kimia tersebut harus dinetralkan tubuh supaya aman. Caranya adalah dengan memecah bahan kimia itu.

Nah, hati atau lever bertugas memecah bahan kimia tersebut. Namun, bila diforsir terus-menerus, hati bisa rusak.

Pemakaian antibiotik yang berlebihan (irrational) juga dapat menimbulkan efek negatif yang lebih luas (long term). Irrational use, lanjut Bambang, dapat membunuh kuman yang sebenarnya baik dan berguna di dalam tubuh. Akibatnya, tempat yang semula ditempati bakteri baik akan diisi bakteri jahat.

Kemudian, pemberian antibiotik yang berlebihan akan mengakibatkan bakteri-bakteri yang tidak terbunuh mengalami mutasi dan menjadi kuman yang resisten terhadap antibiotik. Kejadian itu biasa disebut superbugs. "Jenis bakteri yang awalnya dapat diobati dengan mudah oleh antibiotik ringan, apabila antibiotiknya digunakan secara irrational, jadi memerlukan antibiotik yang lebih kuat," jelasnya.

Karena itu, saran Bambang, masyarakat harus paham soal antibiotik. Selain itu, sebelum mengonsumsi, harus tahu aturannya. Baik waktu pemakaian maupun dosis. Dengan demikian, pemakaian bisa dilakukan secara tepat dan rasional.

Menurut dia, hal itu harus mendapat perhatian dari kalangan medis. "Termasuk, upaya pemerintah dalam melakukan pengawasan di lapangan supaya antibiotik tidak beredar secara bebas," ujarnya.

Pemakaian antibiotik yang tidak benar kerap dipicu dengan dijualnya obat tersebut secara bebas di pasar. "Inilah yang mesti dikendalikan pemerintah,"

Penggunaan ANTIBIOTIK Yang Rasional dan Benar



MEMANG penyembuhan penyakit dengan antibiotik sering digunakan masyarakat. Ini disebabkan masyarakat begitu mudah mendapatkan antibiotik di pasaran. Saat terserang flu atau peradangan, orang dengan mudah mengobati dirinya sendiri dengan membeli antibiotik.

Antibiotika adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama jamur, yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain. Banyak antibiotika saat ini dibuat secara semisintetik atau sintetik penuh.

Menurut dr Fajar Rudy Qimindra dari Rumah Sakit Pertamina Balikpapan (RSPB), antibiotika yang ditemukan pada 1928 oleh Alexander Fleming ini, sekarang menghadapi masalah baru berupa kekebalan (resistansi). Karena penggunaannya yang bebas dan tidak sesuai dengan indikasi, sehingga efek dari resistansi ini adalah dikhawatirkan obat tersebut sudah tidak lagi efektif saat terjadi infeksi yang membutuhkan antibiotika.

Dikatakannya, selain bahaya kekebalan, efek lain yang bisa terjadi adalah timbulnya reaksi alergi. Alergi adakah mekanisme pertahanan tubuh yang terlalu sensitif. Ia bersifat individual (perseorangan) dan dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti debu, udang, telur, maupun obat-obatan sendiri. Alergi obat ini tidak tergantung pada dosisnya. Misalnya masyarakat menganggap yang mengandung 500 mg termasuk dosis tinggi dan dapat menimbulkan alergi dibanding 200 mg. Padahal setiap jenis antibiotika mempunyai dosis tersendiri yang spesifik.

Reaksi alergi yag timbul bisa bersifat ringan ataupun berat yang sampai mengancam jiwa. Yang ringan seperti gatal, mual, muntah, pusing dan sebagainya. Sedang reaksi yang berat disebut reaksi anafilaksis. Reaksi anafilaksis ini adalah timbulnya kondisi syok pada pasien, yaitu dalam hitungan detik pasien bisa langsung tidak sadar, tetapi begitu mendapat suntikan anti-nya ia akan sadar kembali.

Oleh karena itu diperlukan kerjasama yang baik antara pasien dan dokter.Seorang dokter akan menanyakan riwayat adanya alergi obat atau tidak,dan pasien wajib mencatat dan mengingat ada riwayat alergi apa saja.

Pencegahan reaksi alergi yang lain, biasanya akan dilakukan tes kulit (skin test) untuk antibiotika yang berbentuk suntikan/injeksi. Cara sejumlah kecil dosis obat diencerkan kemudian disuntikkan di bawah kulit.

“Jika setelah dilakukan skin test si pasien mengidap alergi, maka timbul akan bentol-bentol di sekitar tempat suntikan. Jika sudah demikian maka pemberian antibiotika tersebut tidak akan diberikan. Dengan kata lain, jika antibiotika tersebut tidak cocok pada tubuh pasien, maka si pasien harus mendapatkan obat lain sebagai penggantinya".

Dikatakan lebih lanjut, efek samping antibiotika dari penggunaan jangka panjang yang dipikirkan adalah pada organ tubuh yang memecah/mengeluarkan racunnya, yaitu ginjal. Perlu kewaspadaan apabila pada pasien tersebut sudah ada gejala kerusakan ginjal maka harus dipilih antibiotika yang sesuai.

Adapun jangka waktu penggunaan antibiotika ini sangat bervariasi, tergantung pada berat ringannya penyakit yang diderita.

“Untuk infeksi kuman yang ringan, penggunaan selama tiga sampai lima hari saja biasanya sudah cukup,” kata pria yang sehari-hari tugas di rumah sakit di kawasan Jl Jend Sudirman Balikpapan Selatan ini.

Sebenarnya, ungkap Qimi, penggunaan antibiotika secara benar dan rasional memang harus diberikan. Rasional di sini maksudnya, adalah harus sesuai dengan indikasi penyakitnya, sesuai dosisnya, sesuai cara pemberiannya, dan tetap memperhatikan efek sampingnya. Sehingga diharapkan masyarakat menjadi rasional dan tidak berlebihan dalam menggunakan antibiotika sesuai apa yang dikampanyekan oleh Badan kesehatan dunia,WHO.
Beberapa hal yang bisa dianjurkan dalam mengonsumsi antibiotik, antara lain sebaiknya jangan sembarangan minum antibiotika yang dibeli sendiri di apotek atau toko obat; untuk pertolongan awal gejala demam, batuk, flu boleh saja minum obat penangkalnya, tetapi jangan mengandalkan antibiotik; selalu berkonsultasi dengan dokter untuk setiap penggunaan antibiotika, dan tanyakan ke dokter tentang cara minum, lama minum dan lain-lain sehingga ada kejelasan.

“Bagaimana pun antibiotika adalah salah satu obat yang dapat digolongkan sebagai dalam pengawasan dokter. Sehingga resistensi yang terjadi karena penggunaan yang tidak terkontrol benar-benar bisa diminimalkan,”
Antibiotika adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri. Penggunaan antibiotika khususnya berkaitan dengan pengobatan penyakit infeksi, meskipun dalam bioteknologi dan rekayasa genetika juga digunakan sebagai alat seleksi terhadap mutan atau transforman. Antibiotika bekerja seperti pestisida dengan menekan atau memutus satu mata rantai metabolisme, hanya saja targetnya adalah bakteri. Antibiotika berbeda dengan desinfektan karena cara kerjanya. Desifektan membunuh kuman dengan menciptakan lingkungan yang tidak wajar bagi kuman untuk hidup.

Tidak seperti perawatan infeksi sebelumnya, yang menggunakan racun seperti strychnine, antibiotika dijuluki "peluru ajaib": obat yang membidik penyakit tanpa melukai tuannya. Antibiotik tidak efektif menangani infeksi akibat virus, jamur, atau nonbakteri lainnya, dan Setiap antibiotik sangat beragam keefektifannya dalam melawan berbagai jenis bakteri. Ada antibiotika yang membidik bakteri gram negatif atau gram positif, ada pula yang spektrumnya lebih luas. Keefektifannya juga bergantung pada lokasi infeksi dan kemampuan antibiotik mencapai lokasi tersebut.

Antibiotika oral (yang dimakan) mudah digunakan bila efektif, dan antibiotika intravena (melalui infus) digunakan untuk kasus yang lebih serius. Antibiotika kadangkala dapat digunakan setempat, seperti tetes mata dan salep.

Riwayat singkat penemuan antibiotika modern

Penemuan antibiotika terjadi secara 'tidak sengaja' ketika Alexander Fleming, pada tahun 1928, lupa membersihkan sediaan bakteri pada cawan petri dan meninggalkannya di rak cuci sepanjang akhir pekan. Pada hari Senin, ketika cawan petri tersebut akan dibersihkan, ia melihat sebagian kapang telah tumbuh di media dan bagian di sekitar kapang 'bersih' dari bakteri yang sebelumnya memenuhi media. Karena tertarik dengan kenyataan ini, ia melakukan penelitian lebih lanjut terhadap kapang tersebut, yang ternyata adalah Penicillium chrysogenum syn. P. notatum (kapang berwarna biru muda ini mudah ditemukan pada roti yang dibiarkan lembab beberapa hari). Ia lalu mendapat hasil positif dalam pengujian pengaruh ekstrak kapang itu terhadap bakteri koleksinya. Dari ekstrak itu ia diakui menemukan antibiotik alami pertama: penicillin G.

Penemuan efek antibakteri dari Penicillium sebelumnya sudah diketahui oleh peneliti-peneliti dari Institut Pasteur di Perancis pada akhir abad ke-19 namun hasilnya tidak diakui oleh lembaganya sendiri dan tidak dipublikasi.

Macam-macam antibiotika

Antibiotika dapat digolongkan berdasarkan sasaran kerja senyawa tersebut dan susunan kimiawinya. Ada enam kelompok antibiotika[1] dilihat dari target atau sasaran kerjanya(nama contoh diberikan menurut ejaan Inggris karena belum semua nama diindonesiakan atau diragukan pengindonesiaannya):

* Inhibitor sintesis dinding sel bakteri, mencakup golongan Penicillin, Polypeptide dan Cephalosporin, misalnya ampicillin, penicillin G;
* Inhibitor transkripsi dan replikasi, mencakup golongan Quinolone, misalnya rifampicin, actinomycin D, nalidixic acid;
* Inhibitor sintesis protein, mencakup banyak jenis antibiotik, terutama dari golongan Macrolide, Aminoglycoside, dan Tetracycline, misalnya gentamycin, chloramphenicol, kanamycin, streptomycin, tetracycline, oxytetracycline;
* Inhibitor fungsi membran sel, misalnya ionomycin, valinomycin;
* Inhibitor fungsi sel lainnya, seperti golongan sulfa atau sulfonamida, misalnya oligomycin, tunicamycin; dan
* Antimetabolit, misalnya azaserine.


Penggunaan antibiotika

Karena biasanya antibiotika bekerja sangat spesifik pada suatu proses, mutasi yang mungkin terjadi pada bakteri memungkinkan munculnya strain bakteri yang 'kebal' terhadap antibiotika. Itulah sebabnya, pemberian antibiotika biasanya diberikan dalam dosis yang menyebabkan bakteri segera mati dan dalam jangka waktu yang agak panjang agar mutasi tidak terjadi. Penggunaan antibiotika yang 'tanggung' hanya membuka peluang munculnya tipe bakteri yang 'kebal'.

Pemakaian antibiotika di bidang pertanian sebagai antibakteri umumnya terbatas karena dianggap mahal, namun dalam bioteknologi pemakaiannya cukup luas untuk menyeleksi sel-sel yang mengandung gen baru. Praktik penggunaan antibiotika ini dikritik tajam oleh para aktivis lingkungan karena kekhawatiran akan munculnya hama yang tahan antibiotika.