Powered By Blogger

Drug Information Center

Drug Information Center
Salam Farmasi

Rabu, 20 Januari 2010

BAHAYA PENGGUNAAN FENITOIN PADA MASA KEHAMILAN



Beberapa jenis obat dapat menembus plasenta dan mempengaruhi janin dalam uterus, baik melalui efek farmakologik maupun efek teratogeniknya. Secara umum faktor-faktor yang dapat mempengaruhi masuknya obat ke dalam plasenta dan memberikan efek pada janin adalah:

(1) Sifat fisikokimiawi dari obat

(2) Kecepatan obat untuk melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin

(3) Lamanya pemaparan terhadap obat

(4) Bagaimana obat didistribusikan ke jaringan-jaringan yang berbeda pada janin

(5) Periode perkembangan janin saat obat diberikan dan

(6) Efek obat jika diberikan dalam bentuk kombinasi.

Fenitoin merupakan obat antiepilepsi yang pemakaiannya sangat luas, namun mempunyai efek teratogenik. Fenitoin termasuk obat kategori D yaitu obat-obat yang terbukti menyebabkan meningkatnya kejadian malformasi janin pada manusia atau menyebabkan kerusakan janin yang bersifat ireversibel (tidak dapat membaik kembali). Obat-obat dalam kategori ini juga mempunyai efek farmakologik yang merugikan terhadap janin. Angka malformasi total pada 305 anak yang dilahirkan oleh ibu tanpa epilepsi adalah 6,4%. Prosentase malformasi akibat penggunaan Fenitoin pada masa kehamilan adalah 30%.

Pemberian obat antiepilepsi selalu dimulai dengan dosis rendah, dinaikkan bertahap sampai epilepsi terkendali dan terjadi efek kelebihan dosis. Frekuensi pemberian biasanya didasarkan atas waktu paruh plasma. Obat yang mempunyai waktu paruh lama, seperti fenitoin, dapat diberikan sehari sekali menjelang tidur. Kadang obat diberikan dalam 3 kali dalam sehari untuk menjaga agar kadar plasmanya tidak terlalu tinggi sehingga terhindar dari efek sampingnya.

Penggunaan Fenitoin dapat mengakibatkan terjadinya sindrom hidantoin fetus. Sindrom ini pertama kali diperkenalkan oleh Hanson dan Smith (1975) untuk menggambarkan pola abnormalitas yang diamati pada neonatus, dimana ibu epilepsi yang hamil diberikan obat fenitoin, biasanya dikombinasi dengan fenobarbital. Sindrom ini terdiri dari abnormalitas kraniofasial, kelainan anggota gerak, defisiensi pertumbuhan, retardasi mental baik ringan atau sedang. Studi prospektif dari 35 bayi pada prenatal diberi obat golongan Hidantoin ditemukan bahwa 11% mempunyai gambaran sebagai sindroma ini.

Konsentrasi obat antiepilepsi dalam plasma wanita hamil yang melahirkan bayi malformasi selalu lebih tinggi daripada kadar obat antiepilepsi pada wanita epilepsi hamil yang melahirkan tanpa malformasi. Para wanita epilepsi yang hamil dengan menggunakan berbagai jenis obat antiepilepsi lebih mudah melahirkan bayi dengan malformasi daripada wanita epilepsi yang hamil memakai obat epilepsi tunggal.

Perubahan fisiologis yang dinamis terjadi pada tubuh seorang wanita hamil karena terbentuknya unit fetal-plasentalmaternal. Keadaan ini mempengaruhi profil farmakokinetika obat baik dari segi absorbsi, distribusi, maupun eliminasinya.

1. Absorpsi

Pada awal kehamilan akan terjadi penurunan sekresi asam lambung hingga 30-40%. Hal ini menyebabkan pH asam lambung sedikit meningkat, sehingga obat-obat yang bersifat asam lemah akan sedikit mengalami penurunan absorpsi. Sebaliknya untuk obat yang bersifat basa lemah absorpsi justru meningkat. Fenitoin merupakan obat asam lemah sehingga absorpsinya dalam lambung pada awal kehamilan akan menurun. Akan tetapi, pada fase selanjutnya akan terjadi penurunan motilitas gastrointestinal. Hal ini menyebabkan absorpsi obat-obat yang sukar larut akan meningkat, sedang absorpsi obat-obat yang mengalami metabolisme di dinding usus, seperti misalnya klorpromazin akan menurun. Fenitoin sukar larut dalam air (lipofil) sehingga absorpsinya pada fase ini akan meningkat.

2. Distribusi

Selama masa akhir kehamilan akan terjadi perubahan kadar protein berupa penurunan albumin serum sampai 20%. Perubahan ini semakin menyolok pada keadaan pre-eklamsia, di mana kadar albumin turun sampai 34% dan glikoprotein meningkat hingga 100%.

Diketahui bahwa obat asam lemah terikat pada albumin, dan obat basa lemah terikat pada alfa-1 glikoprotein. Konsekuensi, fraksi bebas obat-obat yang bersifat asam akan meningkat, sedangkan fraksi bebas obat-obat yang bersifat basa akan menurun. Fenitoin merupakan obat asam lemah sehingga fraksi obat bebas ini terbukti meningkat secara bermakna pada akhir kehamilan.

Protein plasma janin mempunyai afinitas yang lebih rendah dibandingkan protein plasma ibu terhadap obat-obatan. Albumin plasma ibu akan menurun selama kehamilan sementara albumin janin akan meningkat. Proses yang dinamis ini akan menghasilkan perbedaan rasio albumin janin dan ibu pada usia kehamilan yang berbeda. Obat-obat yang tidak terikat (bebas) adalah yang mampu melewati sawar plasenta. Kemampuan obat untuk melintasi plasenta tergantung pada sifat lipofilik dan ionisasi obat. Obat yang mempunyai lipofilik tinggi cenderung untuk segera terdifusi ke dalam sirkulasi janin. Karena Fenitoin bersifat lipofilik maka obat ini cenderung cepat terdifusi ke dalam sirkulasi janin.

Kecepatan dan jumlah obat yang dapat melintasi plasenta juga ditentukan oleh berat molekul. Obat-obat dengan berat molekul 250-500 dapat secara mudah melintasi plasenta, tergantung pada sifat lipofiliknya, sedangkan obat dengan berat molekul > 1000 sangat sulit menembus plasenta. Fenitoin memiliki berat molekul 252,27 sehingga secara mudah dapat melintasi plasenta.

Fenitoin (difenilhidantoin) dapat melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin setelah pemberian dosis terapetik secara intravenosa. Dosis tertinggi pada janin ditemukan dalan hepar, jantung, dan glandula adrenal. Pada wanita hamil yang mendapat pengobatan Fenitoin jangka panjang, kadar Fenitoin dalam sirkulasi janin sama dengan kadarnya dalam sirkulasi ibu.

3. Eliminasi

Pada akhir masa kehamilan akan terjadi peningkatan aliran darah ginjal sampai dua kali lipat. Sebagai akibatnya, akan terjadi peningkatan eliminasi obat-obat terutama yang mengalami ekskresi di ginjal. Dengan meningkatnya aktivitas mixed function oxidase, suatu sistem enzim yang paling berperan dalam metabolisme hepatal obat, maka metabolisme obat-obat tertentu yang mengalami oksidasi dengan cara ini (misalnya fenitoin. fenobarbital, dan karbamazepin) juga meningkat, sehingga kadar obat tersebut dalam darah akan menurun lebih cepat, terutama pada trimester kedua dan ketiga.

Untuk itu, pada keadaan tertentu mungkin diperlukan menaikkan dosis agar diperoleh efek yang diharapkan. Waktu paruh fenitoin pada bayi baru lahir sekitar 60-70 jam dan obat masih didapat dalam plasma bayi, hingga hari ke lima setelah kelahiran.

Pemakaian obat selama hamil sebaiknya memang dihindari, akan tetapi bagi tubuh yang sakit dan kondisi sakit akan bertambah parah jika terus dibiarkan, maka pengobatan adalah jalan yang terbaik. Ketepatan dalam pemilihan obat diperlukan untuk mengurangi sekecil mungkin efek samping merugikan yang dapat timbul. Pemberian obat harus mengacu pada tujuan pengobatan dan kedaruratan pemberian, pola terapi yang bersifat rasional, efektif, aman dan ekonomis, dapat dijangkau jika dalam pengobatan dipakai prinsip “Panca Tepat” :

1. Diagnosis penyakit yang tepat.

2. Pemilihan jenis obat yang tepat.

3. Dosis, lama pemberian, dan interval pemberian yang tepat.

4. Memperhatikan patologi dan perlangsungan penyakit secara tepat.

5. Pengawasan dan penanganan efek dan efek samping obat secara tepat.

Oleh karena itu seorang dokter dan apoteker haruslah bijaksana dalam menentukan terapi yang terbaik untuk kepentingan ibu dan janin.


Daftar Pustaka

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, edisi IV, 670, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

Anonim, 2007, Farmakoterapi pada Kehamilan, http://www.farklin.com, diakses tanggal 5 Maret 2009

Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia, 153, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

Japardi, Iskandar, 2002, Epilepsi pada kehamilan, http://library.usu.ac.id, diakses tanggal 9 Maret 2009

Nindya, Stefani, 2001, Perubahan farmakokinetik obat pada Wanita Hamil dan Implikasinya secara Klinik, http://ojs.lib.unair.ac.id, diakses tanggal 5 Maret 2009

Susilo, Yudi Hardi, 2008, Masalah Pemakaian Obat Selama Hamil, http://www.yudihardis.com, diakses tanggal 9 Maret 2009

Perubahan Farmakokinetika Obat pada saat Kehamilan


Perubahan Farmakokinetika Obat pada saat Kehamilan

Pada masa kehamilan, perubahan fisiologis akan terjadi secara dinamis, hal ini dikarenakan terbentuknya unit fetal-plasental-maternal. Karena perubahan fisiologis inilah maka farmakokinetika obat baik absorpsi, distribusi, metabolisme maupun ekskresi pun ikut berubah. Perubahan-perubahan yang terjadi tersebut antara lain perubahan fungsi saluran cerna, fungsi saluran nafas, dan peningkatan laju filtrasi glomerulus pada ginjal.
Suatu penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan obat dapat melewati sawar plasenta dengan mudah, sehingga janin yang dikandung pun ikut menerima obat.
Respon ibu dan janin terhadap obat selama kehamilan dipengaruhi oleh dua faktor utama:
1) Perubahan absorbsi, distribusi, dan eliminasi obat dalam tubuh wanita hamil.
2) unit plasental-fetal yang mempengaruhi jumlah obat yang melewati sawar plasenta, persentase obat yang dimetabolisme oleh plasenta, distribusi dan eliminasi obat oleh janin.

I. Perubahan Farmakokinetika Obat Akibat Perubahan Maternal
1. Absorbsi saluran cerna
Pada wanita hamil terjadi penurunan sekresi asam lambung (40% dibandingkan wanita tidak hamil), disertai peningkatan sekresi mukus, kombinasi kedua hal tersebut akan menyebabkan peningkatan pH lambung dan kapasitas buffer. Secara klinik hal ini akan mempengaruhi ionisasi asam-basa yang berakibat pada absorbsinya.
2. Absorbsi paru
Pada kehamilan terjadi peningkatan curah jantung, tidal volume, ventilasi, dan aliran darah paru. Perubahan-perubahan ini mengakibatkan peningkatan absorbsi alveolar, sehingga perlu dipertimbangkan dalam pemberian obat inhalan.
3. Distribusi
Volume distribusi obat akan mengalami perubahan selama kehamilan akibat peningkatan jumlah volume plasma hingga 50%. Peningkatan curah jantung akan berakibat peningkatan aliran darah ginjal sampai 50% pada akhir trimester I, dan peningkatan aliran darah uterus yang mencapai puncaknya pada aterm (36-42 L/jam); 80% akan menuju ke plasenta dan 20% akan mendarahi myometrium. Akibat peningkatan jumlah volume ini, terjadi penurunan kadar puncak obat (Cmax) dalam serum.
4. Pengikatan protein
Sesuai dengan perjalanan kehamilan, volume plasma akan bertambah, tetapi tidak diikuti dengan peningkatan produksi albumin, sehingga menimbulkan hipoalbuminemia fisiologis yang mengakibatkan kadar obat bebas akan meningkat. Obat-obat yang tidak terikat pada protein pengikat secara farmakologis adalah obat yang aktif, maka pada wanita hamil diperkirakan akan terjadi peningkatan efek obat.
5. Eliminasi oleh hati
Fungsi hati dalam kehamilan banyak dipengaruhi oleh kadar estrogen dan progesteron yang tinggi. Pada beberapa obat tertentu seperti phenytoin, metabolisme hati meningkat mungkin akibat rangsangan pada aktivitas enzim mikrosom hati yang disebabkan oleh hormon progesteron; sedangkan pada obat-obatan seperti teofilin dan kafein, eliminasi hati berkurang sebagai akibat sekunder inhibisi komfetitif dari enzim oksidase mikrosom oleh estrogen dan progesterone.
6. Eliminasi ginjal
Pada kehamilan terjadi peningkatan aliran plasma renal 25-50%. Obat-obat yang dikeluarkan dalam bentuk utuh dalam urin seperti penisilin, digoksin, dan lithium menunjukkan peningkatan eliminasi dan konsentrasi serum steady state yang lebih rendah.

II. Efek kompartemen fetal-plasental
Jika pemberian obat menghasilkan satu kesatuan dosis maupun perbandingan antara kadar obat janin: ibu maka dipakai model kompartemen tunggal. Tetapi jika obat lebih sukar mencapai janin maka dipakai model dua kompartemen di mana rasio konsentrasi janin: ibu akan menjadi lebih rendah pada waktu pemberian obat dibandingkan setelah terjadi distribusi.
1. Efek protein pengikat
Protein plasma janin mempunyai afinitas yang lebih rendah dibandingkan protein plasma ibu terhadap obat-obatan. Tetapi ada pula obat-obatan yang lebih banyak terikat pada protein pengikat janin seperti salisilat. Obat-obat yang tidak terikat (bebas) adalah yang mampu melewati sawar plasenta.
2. Keseimbangan asam-basa
Molekul yang larut dalam lemak dan tidak terionisasi menembus membran biologis lebih cepat dibandingkan molekul yang kurang larut dalam lemak dan terionisasi selain itu PH plasma janin sedikit lebih asam dibandingkan ibu. Dengan demikian basa lemah akan lebih mudah melewati sawar plasenta. Tetapi setelah melewati plasenta dan mengadakan kontak dengan darah janin yang relatif lebih asam, molekul-molekul akan lebih terionisasi. Hal ini akan berakibat penurunan konsentrasi obat pada janin dan menghasilkan gradien konsentrasi. Fenomena ini dikenal sebagai ion trapping.
3. Eliminasi obat secara feto-placental drug eliminaton
Terdapat bukti-bukti bahwa plasenta manusia dan fetus mampu memetabolisme obat. Semua proses enzimatik, termasuk fase I dan fase II telah ditemukan pada hati bayi sejak 7 sampai 8 minggu pasca pembuahan tetapi proses tersebut belum matang, dan aktivitasnya sangat rendah. Kemampuan eliminasi yang berkurang dapat menimbulkan efek obat yang lebih panjang dan lebih menyolok pada janin. Sebagian besar eliminasi obat pada janin dengan cara difusi obat kembali ke kompartemen ibu. Tetapi kebanyakan metabolit lebih polar dibandingkan dengan asal-usulnya sehingga kecil kemungkinan mereka akan melewati sawar plasenta, dan berakibat penimbunan metabolit pada jaringan janin. Dengan pertambahan usia kehamilan, makin banyak obat yang diekskresikan ke dalam cairan amnion, hal ini menunjukkan maturasi ginjal janin.
4. Keseimbangan Obat Maternal-fetal
Jalur utama transfer obat melalui plasenta adalah dengan difusi sederhana. Obat yang bersifat lipofilik dan tidak terionisasi pada pH fisiologis akan lebih mudah berdifusi melalui plasenta. Kecepatan tercapainya keseimbangan obat antara ibu dan janin mempunyai arti yang penting pada keadaan konsentrasi obat pada janin harus dicapai secepat mungkin, seperti pada kasus-kasus aritmia atau infeksi janin intrauterin, karena obat diberikan melalui ibunya.

III. Mekanisme Transfer Obat melalui Plasenta
Obat-obatan yang diberikan kepada ibu hamil dapat menembus sawar plasenta sebagaimana halnya dengan nutrisiyang dibutuhkan janin, dengan demikian obat mempunyai potensi untuk menimbulkan efek pada janin. Perbandingan konsentrasi obat dalam plasma ibu dan janin dapat memberi gambaran pemaparan janin terhadap obat-obatan yang diberikan kepada ibunya.
Waddell dan Marlowe (1981) menetapkan bahwa terdapat 3 tipe transfer obat-obatan melalui plasenta sebagai berikut:
· Tipe I
Obat-obatan yang segera mencapai keseimbangan dalam kompartemen ibu dan janin, atau terjadi transfer lengkap dari obat tersebut. Yang dimaksud dengan keseimbangan di sini adalah tercapainya konsentrasi terapetik yang sama secara simultan pada kompartemen ibu dan janin.
· Tipe II
Obat-obatan yang mempunyai konsentrasi dalam plasma janin lebih tinggi daripada konsentrasi dalam plasma ibu atau terjadi transfer yang berlebihan. Hal ini mungkin terjadi karena transfer pengeluaran obat dari janin berlangsung lebih lambat.
· Tipe III
Obat-obatan yang mempunyai konsentrasi dalam plasma janin lebih rendah daripada konsentrasi dalam plasma ibu atau terjadi transfer yang tidak lengkap.

Faktor-faktor yang mempengaruhi transfer obat melalui plasenta antara lain adalah:
- Berat molekul obat.
Pada obat dengan berat molekul lebih dari 500D akan terjadi transfer tak lengkap melewati plasenta.
- PKa (pH saat 50% obat terionisasi).
- Ikatan antara obat dengan protein plasma.
Mekanisme transfer obat melalui plasenta dapat dengan cara difusi, baik aktif maupun pasif, transport aktif, fagositosis, pinositosis, diskontinuitas membran dan gradien elektrokimiawi.

DAFTAR PUSTAKA
Ganiswara, SG., 1995, Farmakologi dan terapi, Edisi ke 4, 728-59, Farmakologi FKUI, Jakarta
Nindya, S., 2001, www.cerminduniakedokteran.com Perubahan Farmakokinetik Obat pada Wanita Hamil dan Implikasinya secara Klinik, diakses tanggal 10 Maret 2009



OBAT - OBAT YANG BEKERJA PADA SALURAN CERNA
Nama Obat Kemasan

• ACIDRINE Tablet kunyah 40 biji.
• ACITRAL LIQUID Cairan 120 mL.
• ACITRAL TABLET Tablet 25 x 4 butir.
• ACPULSIF 5 mg. Tab 5 mg x 5 x 10 biji.
• AEROSON Tablet 40 mg x 5 x 10 biji.

• ALBOTHYL Konsentrasi 360 mg/gram x 10 mL.
• ALBOTHYL Konsentrasi 360 mg/gram x 100 mL.
• ALDACTONE Tablet 25 mg x 100 biji.
• ALDIN 150 mg. Tablet 150 mg x 30 biji.
• ALLOPURINOL 100 MG TAB OGB DEXA Tablet 100 mg x 100 biji.

• ALMACON Tablet 100 biji.
• ALUDONNA D Tablet kunyah 160 tablet.
• ALUDONNA D Suspensi 150 ml.
• ALUDONNA Suspensi 150 ml.
• ALUDONNA Tablet 100 biji.

• AMEROL Tablet 2 mg x 3 x 8
• AMILORIDE 5 MG TAB (OGB) KTK 100 S
• AMINOFUSIN HEPAR Infus 500 ml x 1's
• AMITRIPTYLINE 25 MG TAB Box 100 tablet
• AMOBIOTIC Kapsul 500 mg x 100 biji.

• AMPICILLIN 250 MG KAPLET OGB DEXA Kaplet 250 mg x 100 biji.
• ANDIKAP Kapsul 25 x 6 biji.
• ANDIKAP Kapsul 6 biji.
• ANTASIDA DOEN Kotak isi 100 tablet.
• ANTI-MAAG Tablet 10 x 10 biji.

• ANTI-MAAG TABLET (NP) Tablet 100 biji.
• ANTIDIA Tablet 2 mg x 10 x 10.
• ARCAPEC Tablet 10 x 10 biji.
• ARCAPEC Suspensi kering 60 ml.
• ASCOPLEX Kapsul 100 biji.

• ASIDRAT 800 Tablet kunyah 100 biji.
• ASIDRAT SUSPENSI Suspensi 100 ml.
• ATROPIN 0,25 MG/ML INJ (OGB) Injeksi 0,25 mg/ml x 30 ampul @1 mL
• ATROPIN 0,5 MG (OGB) Botol isi 500 tablet.
• ATROPINI SULFAS Ampul 250 µg/ml x 1 ml x 30

• BEKARBON Tablet 250 mg x 750
• BENOFAT Tablet 500 mg x 10 x 10 biji.
• BENOFAT Kaptab 1000 mg x 10 x 10 biji.
• BENOZYM Tablet salut gula 10 x 10 biji.
• BERZYMPLEX Tablet salut gula 10 x 10 biji.

• BETADINE OINTMENT 10 GRAM Salep 10 gram.
• BETALANS Kapsul 30 mg x 2 x 10 biji.
• BIO-EPL Kapsul 100 biji.
• BIODIAR Tablet 630 mg x 5 x 10
• BIODIAR Tablet 630 mg x 25 x 4 biji.

• BIOGASTRON Tablet 100 biji.
• BIOVISION 100 Box isi 100 kapsul.
• BIOVISION 30 Box isi 30 kapsul.
• BUSCOPAN Ampul 20 mg/ml x 10 biji.
• BUSCOPAN Tablet salut gula 10 mg x 100 biji.

• BUSCOPAN PLUS Tablet 25 x 4 biji.
• CALCIUM D REDOXON Tablet effervescent 10 biji.
• CANTIL Tablet 25 mg x 10 x 10
• CEFOTAXIM 1 GR INJ OGB DEXA Vial 1 gram x 2 biji.
• CELLACORT Tablet 10 x 10 biji.

• CHOPINTAC Tablet salut selaput 150 mg x 3 x 10.
• CHOPINTAC FORTE Kaplet salut selaput 300 mg x 3 x 10 biji.
• CIMET Tablet 200 mg x 50 biji.
• CIMETIDINE 200 MG OGB Tablet 200 mg x 100 biji.
• CODIPRONT ( N ) Kapsul 10 biji.

Rabu, 13 Januari 2010

Stroke

Strok (bahasa Inggris: stroke) adalah suatu kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke suatu bagian otak tiba-tiba terganggu. Dalam jaringan otak, kurangnya aliran darah menyebabkan serangkaian reaksi bio-kimia, yang dapat merusakkan atau mematikan sel-sel otak. Kematian jaringan otak dapat menyebabkan hilangnya fungsi yang dikendalikan oleh jaringan itu. Strok adalah penyebab kematian yang ketiga di Amerika Serikat dan banyak negara industri di Eropa (Jauch, 2005). Bila dapat diselamatkan, kadang-kadang si penderita mengalami kelumpuhan pada anggota badannya, hilangnya sebagian ingatan atau kemampuan bicaranya. Untuk menggarisbawahi betapa seriusnya strok ini, beberapa tahun belakangan ini telah semakin populer istilah serangan otak. Istilah ini berpadanan dengan istilah yang sudah dikenal luas, "serangan jantung". strok terjadi karena cabang pembuluh darah terhambat oleh emboli. emboli bisa berupa kolesterol atau mungkin udara

Jenis strok

Strok dibagi menjadi dua jenis yaitu strok iskemik maupun strok hemorragik. Pada strok iskemik, aliran darah ke otak terhenti karena aterosklerosis (penumpukan kolesterol pada dinding pembuluh darah) atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh darah ke otak. Hampir sebagian besar pasien atau sebesar 83% mengalami strok jenis ini.

Pada strok hemorragik, pembuluh darah pecah sehingga menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah di otak dan merusaknya. Hampir 70 persen kasus strok hemorrhagik terjadi pada penderita hipertensi.

Pada strok iskemik, penyumbatan bisa terjadi di sepanjang jalur pembuluh darah arteri yang menuju ke otak. Darah ke otak disuplai oleh dua arteria karotis interna dan dua arteri vertebralis. Arteri-arteri ini merupakan cabang dari lengkung aorta jantung.

Suatu ateroma (endapan lemak) bisa terbentuk di dalam pembuluh darah arteri karotis sehingga menyebabkan berkurangnya aliran darah. Keadaan ini sangat serius karena setiap pembuluh darah arteri karotis dalam keadaan normal memberikan darah ke sebagian besar otak. Endapan lemak juga bisa terlepas dari dinding arteri dan mengalir di dalam darah, kemudian menyumbat arteri yang lebih kecil.

Pembuluh darah arteri karotis dan arteri vertebralis beserta percabangannya bisa juga tersumbat karena adanya bekuan darah yang berasal dari tempat lain, misalnya dari jantung atau satu katupnya. Strok semacam ini disebut emboli serebral (emboli = sumbatan, serebral = pembuluh darah otak) yang paling sering terjadi pada penderita yang baru menjalani pembedahan jantung dan penderita kelainan katup jantung atau gangguan irama jantung (terutama fibrilasi atrium).

Emboli lemak jarang menyebabkan strok. Emboli lemak terbentuk jika lemak dari sumsum tulang yang pecah dilepaskan ke dalam aliran darah dan akhirnya bergabung di dalam sebuah arteri.

Strok juga bisa terjadi bila suatu peradangan atau infeksi menyebabkan penyempitan pembuluh darah yang menuju ke otak. Obat-obatan (misalnya kokain dan amfetamin) juga bisa mempersempit pembuluh darah di otak dan menyebabkan strok.

Penurunan tekanan darah yang tiba-tiba bisa menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak, yang biasanya menyebabkan seseorang pingsan. Strok bisa terjadi jika tekanan darah rendahnya sangat berat dan menahun. Hal ini terjadi jika seseorang mengalami kehilangan darah yang banyak karena cedera atau pembedahan, serangan jantung atau irama jantung yang abnormal.