Powered By Blogger

Drug Information Center

Drug Information Center
Salam Farmasi

Jumat, 25 Desember 2009

Pengelolaan Hipertensi pada Diabetes Mellitus Tipe 2


Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit yang tidak dit ularkan (
Non-Communicable disease ) dan sering ditemukan di ma syarakat seluruh
dunia. Di negara berkembang DM juga sebagai penyebab kematian 4 – 5 kali
dibanding dengan penyakit lain. Insidensi DM terus meningkat secara tajam,
sampai saat ini tercatat sebanyak 177 juta penderita diabetes di seluruh dunia,
dan diperkirakan pada tahun 2025 akan didapatkan penderita diabetes sebanyak
300 juta penderita1
.
Peningkatan insidensi DM akan meningkatkan insidensi komplikasi akibat
diabetes tersebut. Dari berbagai p enelitian didapatkan ebanyak 3 0-40%
penderita DM tipe 2 (DMt2) akan mengalami kerusakan ginjal berupa nefropati
diabetik yang pada akhirnya ak an jatuh ke Gagal ginjal termi nal yang akan
memerlukan hemodialisis. Selain komplikasi pada organ ginjal ini, DM ini juga
sebagai penyebab peningkatan i nsidensi kesakitan dan kematia n penyakit
kardiovaskuler. Dengan meningkatnya insidensi DMt2 maka seca ra signifikan
akan meningkatkan pula insidensi gagal ginjal dan penyakit kardiovaskuler
2
.
Dengan demikian peningkatan in sidensi DMt2 yang signifikan a kan
meningkatkan pula insidensi gagal ginjal dan penyakit kardiovaskuler. Dengan
kondisi seperti itu maka diper lukan upaya pengelolaan dan pe ncegahan
terhadap komplikasi yang serin g menjadi suatu langkah pengelolaan yan g
strategis dan sangat penting, dengan harapan upaya tersebut dapat menunda
perkembangan terjadinya kompli kasi maupun menghambat progres itfitas
komplikasi yang sudah terjadi. Dalam tulisan ini akan diungk apkan selain
epidemiologi, dan patofisiologi hipertensi pada penderita DMt2, juga bagaimana
kiat pemilihan obat anti hipertensi pada DMt22
.

Epidemiologi
Seperti sudah diungkapkan sebe lumnya, bahwa insidensi penyak it
kardiovaskuler dan gagal ginjal terus meningkat sejalan deng an peningkatan
insidensi DMt2. Banyak cara te lah dilakukan untuk upaya penc egahan
meningkatnya insidensi tersebut, antara lain upaya mengendal ikan hipertensi
salah satu faktor resiko penyakit jantung koroner. Obat anti hipertensi yang layak
digunakan telah banyak ditawarkan pada pengel olaan hipertensi penderita DM
t2. Diharapkan dengan terkontrol dengan baik tekanan darah akan menyebabkan
pengurangan resiko penyakit ka rdiovaskuler, tetapi dari berb agai penelitian
ternyata insidensi penyakit kardiovaskuler tetap meningkat, equivalent dengan
peningkatan insidensi DMt2. Ha l ini disebabkan karena pada DMt2 masih
terdapat faktor risiko lain, selain hipertensi seperti dislipidemia, sehingga perlu
dipikirkan adanya pengelolaan faktor faktor resiko lain sela in pengelolaan
hipertensi yang baik. Dengan demikian pengelolaan faktor risiko lain seharusnya perlu dilakukan secara serta m erta bersama sama dengan penge lolaan
hipertensi dengan mencapai target terapi yang diharapkan2
.
Salah satu gambaran adalah dar i hasil penelitian EAST WEST Study
pada tahun 1998, yang mendapatkan gambaran insidensi Infark Miokard dalam
pengamatan selama 7 tahun pada populasi yang besar sebanyak 1373 penderita
infark miokard non -diabetes dan 1059 penderita in fark miokard-diabetes.
Ternyata penderita diabetes secara si gnifikan lebih banyak kejadian infark
miokard dibandingkan non diabe tes ( p < 0,0001). Hal ini men ggambarkan
bahwa selain faktor tekanan da rah yang sebagai faktor resiko penyakit
kardiovaskuler juga adanya riwayat menderita atau keadaan hiperglikemia juga
sangat besar pengaruhnya terhadap insidensi penyakit kardiovaskuler
3
.
East West Study:
Patients with Diabetes at Similar Risk to No Diabetes with MI


PROCAM:
Combination of Risk Factors Increases Risk of MI












Dalam penelitian lain, PROCAM, tahun 1988 menyimpulkan bahwa
semakin banyak factor resiko p enyakit kardiovaskuler semakin besar
kemungkinannya mendapat serangan penyakit tersebut. Insidensi Infark miokard
akan meningkat dengan semakin banyak faktor resiko yang did erita. Faktor
Adapted from Assman G, Schulte H. Am Heart J 1988;116:1713–1724
0
10
20
30
40
50
7-year incidence rate of MI (% )
No prior MI
MI
0
10
20
30
40
50
7-year incidence rate of MI (% )
No prior MI
MI
p<0.001
p<0.001
N No o d di ia ab be et te es s
(n=1373)
D Di ia ab be et te es s
(n=1059)
0
20
40
60
80
100
120
0
20
40
60
80
100
120
None
Dyslipidaemia +
hypertens +/-
diabetes
Diabetes only
Hypertens +
diabetes
Hypertension only
Dyslipidaemia
Prevalence (%): 54.9 22.9 2.6 2.3 9.4 8.0 resiko yang didapatkan pada pe nelitian ini adalah hipertensi , diabetes, dan
dislipidemia4
.

Relevansi Hiperglikemia dengan peningkatan Risiko Penyakit
Kardiovaskuler

Pada diabetes melitus, selain keada an hiperglikemia/ Gangguan tol eransi
glukosa sebagai faktor resiko, juga dapat ditemukan faktor resiko kardiovaskuler
lain, seperti Resistensi Insul in, Hiperinsulinemia, Dislipid emia, Hipertensi,
Hiperkoagulasi, Obesitas Visceral, Mikroalbuminuria. Keadaa n yang sangat
multifaktorial ini menyebabkan insidensi penyakit kadiovaskuler pada diabetes
tinggi dan terus meningkat apabila pengelolaannya tidak komprehensif. Dasar
patofisologi dari kelainan tersebut adalah adanya gangguan pada metabolisme (
Abnormality Metabolism ) yang sering dikemukakan akh ir akhir ini sebagai
sindroma metabolik
5,6
.

Sindroma Metabolik

Batasan Sindroma metabolik yang diajukan oleh National Cholesterol Education
Program, Adult Treatment Panel III, tahun 2001 bahwa Faktor resiko ad anya
sindroma metabolik adalah Obesitas Abdominal (Lingkar panggul) pada laki laki
> 102 cm ( 40 inci ) dan wanita > 88 cm ( 35 inci), Kadar trigleserida ≥ 150 mg/dl
( 1,7 mmol/L ), Kadar kolesterol HDL pada laki laki < 40 mg/dl ( 1.4 mmol/L) dan
wanita < 50 mg/dl ( 1,3 mmol/L ), Tekanan darah ≥ 130/ ≥ 85 mmHg serta
Glukosa puasa ≥ 110 mg/dl ( 6,0 mmol/L)
5,6,7
.
Hubungan sidroma metabolik den gan faktor resiko penyakit
kardiovaskuler adalah dengan t erjadinya proses atheroskleros is yang
menggambarkan terjadinya disfungsi endotel. Faktor faktor te kanan darah,
obesitas abdominal, hiperinsulinemia. Diabetes, hiperkoagulasi, dan dislipidemia
ini diawali dengan keadaan resistensi insulin
5,6
.

NCEP ATP III: The Metabolic Syndrome Risk Factor
Risk Factors for Cardiovasculer Disease

Modifiable Non-Modifiable

- - Smoking - P Pe er rs so on na al l h hi is st to or ry y o of f C CH HD D
- Dyslipidemia - F Fa am mi il ly y h hi is st to or ry y o of f C CH HD D
o Raised LDL-cholesterol - Age
o Low HDL-cholesterol - Gender
o Raised triglycerides

- Raised Blood Pressure
- Diabetes Mellitus
- Obesity

A Ad da ap pt te ed d f fr ro om m: : P Py yö ör rä äl lä ä K K e et t a al l. . E Eu ur r H He ea ar rt t J J 1 19 99 94 4; ;1 15 5: :1 13 30 00 0– –1 13 33 31 1

Faktor resiko kardiovaskuler

Faktor resiko kardiovaskuler yang dapat dikoreksi adalah merokok, dislipidemi,
kolesterol LDL yang meningkat, kolesterol HDL yang rendah, trigliseride yang
meningkat, tekanan darah tinggi, Diabetes mellitus, obesitas, Faktor diet, faktor
thrombogenik, gaya hidup santai, konsumsi alkohol yang berlebih. Sedangkan
faktor yang tidak dapat dikoreksi adalah adanya riwayat penyakit kardiovaskuler
sebelumnya, riwayat penyakit kardiovaskuler pada keluarga, umur, dan gender
8
.
Dari penelitian UKPDS ternyata dengan kontrol tekanan darah yang lebih
baik makan insidensi stroke dan gangguan penglihatan dapat ditekan sampai
lebih sepertiganya, dan kematian yang berhubungan dengan diabetes juga dapat
ditekan sebesar sepertiganya. Sedangkan dengan kontrol gula darah yang baik
akan menurunkan sepertiganya kelainan ginjal dan seperempatnya ganggguan
penglihatan
2,9
.

Patogenesis hipertensi

Pada umumnya pada diabetes mel itus menderita juga hipertensi .
Hipertensi yang tidak dikelola dengan baik akan mempercepat kerusakan pada
ginjal dan kelianan kardiovask uler. Sebaliknya apabila tekan an darah dapat
dikontrol makan a kan memproteksi terhadap kompl ikasi mikro dan
makrovaskuler yang disertai pengelolaan hiperglikemia yang terkontrol. Secara
fisiologi terjadinya peningkatan tekanan darah seperti diganbarkan pada bagan
dibawah ini :
autoregulation

Blood Pressure = Cardiac Out Put x Peripheral Resistance


Preload Contractility Functional Structrural
Constriction Hypertrophy


Fluid Venous
Volume constriction




Renal Decreased Sympathetic Renin Cell Hyper-
Sodium Filtrasi Nervous Angiotensin Membrane Insulinemia
Retention Surface OverActivity Excess Alteration




Excess Reduced Stress Genetic Obesity
Sodium Nephron Alteration
Intake Number Endothelium
Derived
Factors
Kaplan, 2002

Sedangkan patogenesis hiperten si pada penderita DMt2 sangat kompleks,
banyak faktor berpengaruh pada peningkatan tekanan darah. Pada Diabetes faktor tersebut adalah : Resi stensi insulin, kadar Gula darah plasma, Obesitas
selain faktor lain pada sistem otoregulasi pengaturan tekanan darah12
.

Pemilihan Anti hipertensi pada Diabetes mellitus tipe 2

Hipertensi berpengaruh pada penyakit vaskuler antara lain pada organ otak (
stroke, demensia ), jantung ( Infark miokard, gagal jantung, kematian mendadak,
atau ginjal ( gagal ginjal ter minal ). Dengan demikian secar a patofisiologis
dasarnya adalah kelainan pada dinding pembuluh darah merupakan awal
kelainan pada organ organ tersebut
2, 16, 17, 18, 19.
.
Prevalensi hipertensi pada pen derita Diabetes mellitus secar a
keseluruhan adalah 70 %, Pada laki laki 32 %, wanita 45 %. Pada masyarakat
India Puma sebesar 49%, pada kulit putih sebanyak 37 % dan pada orang asia
sebesar 35%. Hal ini menggambarkan bahwa hipertensi pada DMs akan sering
ditemukan dibandingkan pada individu tanpa diabetes. Terkadang muncul suatu
petanyaan apakah diabetes yang mendahului hipertensi atau sebaliknya atau
bersama-sama?
10, 11, 13, 14, 15
.
Secara fisiologis sistem Renin angiotensin melibatkan hormon hormon
seperti Angiotensinogen, yang akan berubah menjadi Angiotens in I dengan
bantuan Renin. Angiotensin I ini dengan adanya enzim ACE berubah menjadi
Angiotensin II. ACE ini selain berperan dalam perubahan tersebut juga berperan
dalam metabolisme bradikinin. Angiotensin II aktif setelah tertangkap oleh
reseptor reseptornya antara lain AT1 dan AT2. Sampai saat ini reseptor yang
paling banyak ditemukan adalah AT112
.
Setelah Angiotensin II pada reseptor AT1, maka akan terjadi proses yang
sangat komplek pada organ organ seperti otak, pembuluh darah, Jantung, dan
ginjal. Pada otak akan terjadi stoke, sedangkan pada dinding pembuluh darah
akan terjadi aterosklerosis, vasokontriksi, hipertrofi vaskuler, serta disfun gsi
endotel, selanjutnya mengakibatkan peningkatan tekanan darah. Pada Organ
jantung akan terjadi Hipertrof i ventrikel kiri, fibrosis, se rta proses remodeling
terganggu sehingga terjadi gagal jantiung ataupun infark miokard
12
.
Reseptor AT1 yang menangkap An giotensin II pada organ ginjal akan
mempengaruhi Laju Filtrasi Gin jal menurun, terjadi proteinu ria, pelepasan
aldosteron, serta sklerosis gl omerular. Keadaan ini akan terus berlang sung
sehingga menimbulkan gagal ginjal terminal.
Terdapat hal yang menarik tent ang aksi ACE maupun ACE inhibi tor.
Dengan adanya penghambat ACE m aka Angiotensin II akan menuru n,
Bradikinin meningkat yang selanjutnya akan meningkatkan Nitrit oxide. Adanya
peningkatan Nitrit okside ini maka terjadi peningkatan vasodilatasi sert a
peningkatan transport glukosa pada sel sel otot. Dengan demikian Penghambat
ACE mempengaruhi resistensi in sulin melalui dua proses yaitu pada
hemodinamik dan metabolisme gl ukosa. Adanya mekanism e tersebut,
Penghambat ACE dapat menjadi pilihan utama pada penderita dengan keadaan
resistensi insulin
( 20) meattbolism )
.
Mekanisme kimiawi aksi angiotensin II sangat kompleks baik melalui efek
endokrin ( efek sistemik) maupun effek pada jaringan yang spesifik. Kedua efek ini akan meningkatkan tekanan darah, meningkatan tekanan intraglomerular dan
peningkatan ekskresi albumin. Hal ini terjadi akibat efek en dokrin berupa
vasokontriksi, steroidogenic (aldosteron), dipsogenic ( efek SSP), dan Supresi
Renin ( negative feedback ), serta efek pada jaringan sp esifik melalui Tropic/
mitogenic ( Cardiac dan vascul ar myocytes ), Chronotropic/ A rrythmogenic (
Cardiomyocyte), Thrombogenic ( plasminogen Activator inhibitor ), Oxidative (
Reactive Oxygen Species ), Ion transport channel (myocytes ), Neuroexcitation (
Sympathetic nerve terminals ), serta Endothelin stimulation ( endothelial cells ).
Obat anti hipertensi yang ideal diharapkan adalah yang dapat mengontrol
tekanan darah, tidak mengganggu terhadap metabolisme baik glukosa maupun
lipid, bahkan lebih menguntungkan, Dapat berperan sebagi renoprotektif, serta
dapat menuntungkan secara maksimal adalah respon terhadap kematian akibat
kardiovaskuler
2
.
Target tekanan darah yang diharapkan tercapai pada penderita tekanan
darah yang direkomendasikan ol eh ADA ( American Diabetes Ass cociated )
adalah seperti pada bagan dibawah ini :

Indikasi terapi inisial dan target tekanan darah
penderita hipertensi pada penderita diabetes melitus.

Sistolik Diastolik

Target (mmHg) < 130 < 80
Perubahan gaya hidup
Selama 3 bulan 130-139 80-89

Perubahan gaya hidup +
Terapi farmakologis ≥ 140 ≥ 90


Tujuan pengelolaan

Dari hasil penelitian UKPDS, dengan penurunan rata-rata 10 mmHg tekanan
sistolik dapat menurunkan resiko komplikasi sebesar 12 %, kematian 15%, Infark
miokard 11% dan komplikasi mikrovaskuler 13 %
2
.
Straregi management dalam upaya pencegahan te rhadap progresivitas
kelainan ginjal pada penderita diabetes adalah : mengelolan terhadap proteinuri,
hipertensi, hiperglikemia, faktor resiko lain : dislipidemia, dan perubahan gaya
hidup.
Obat hipertensi bersifat renoprotektif, seperti penghambat ACE dan ARB
akan menurunkan tekanan darah serta penurunkan ekskresi protein. Keadaan ini
akan menurunkan resiko terjadi nya gagal ginjal terminal, dan memperbaiki
harapan hidup.
Penghambat ACE dan ARB menurun kan tekanan darah melalui
mekanisme tidak terjadinnya va sokontriksi. Penghambat ACE me nghambat
pembentukan Angiotensin II yan g bersifat vasokontriktor, sed angkan ARB
bertindak sebagai antagonis re septor AT1. Perbedaannya terle tak pada
pembentukan bradikin yang tetap berlangsung pada penghambat ACE. Antagonis reseptor AT1 seperti Vasartan, Telmisartan, Ibesartan, ataupun
Losartan akan memblokade secar a komplet pada reseptor sistem renin
angiotensinogen. Efek ini sangat menguntungkan pada sistem kardiovaskuler.
Dengan demikian Antagonis reseptor AT1 selain ber sifat nefroprotektif juga
bersifat kardioprotektif.
Renoprotektif ini dapat tercap ai dengan baik pada penderita diabetes
selain kontrol gula darah yang baik dan dengan diet rendah protein juga
pengelolaan hipertensi yang mencapai target tekanan darah ku rang 135/ 80
mmHg dengan menggunakan Penghambat ACE ataupun Antagonis res eptor
AT1. Antagonis reseptor AT1 be rsifat renoprektif ini dibukti kan pada banyak
penelitian. Losartan lebih bes ar pengaruhnya dalam penurunan ekskresi
mikroalbuminuria dibandingkan d engan Calsium antagonis, demik ian juga
Ibesartan yang dibandingkan dengan amlodipin.
Selain penelitian tersebut, banyak penelitian lain seperti IDNT, RENAAL,
dan DETAIL menyimpulkan bahwa Antagonis reseptor AT1 bersifat renoprotektif,
seperti pada pada tabel dibawah ini :

IDNT and RENAAL Study Result

RRR (%)

IDNT RENAAL

Ibesartan v Ibesartan v Losartan v
End Point Placebo Amlodipine Placebo

Composite end Point (doubling of
Scr, ESRD, or Death)
Doubling Of : 20(p= .02) 23 (p=.006) 16 (p=.02)

Scr 33(p=.003) 37(p<.001) 25(p=.006)
ESRD 23(p=.07) 23(p=.07) 28(p=.002)
Death 8(p=.57) -4 (p=.8 ) - 2(p=.88)
Cardiovascular morbidity
and mortality 9(p=.4 ) -3 (p=.79) 10 (p=.26)


Pada penelitian meta -analisis dengan populasi pend erita diabetes
didapatkan Penghambat ACE, Cal sium antagonis dan -blockers mempunyai
efek menurunkan ekskresi mikroalbuminuria. Secara berurutan efek tersebut
paling besar terdapat pada pen ghambat ACE, Calsium antagonis, dan yang
paling rendah adalah -blockers
21
.
Penggunaan Antagonis reseptor AT1 dan Penghambat ACE pada
pengelolaan Hipertensi, CHF, I nfark Miokard, serta Nefropati Diabetika
memberikan efektifitas yang baik. Walaupun demikian Antagonis reseptor AT1
lebih selektif pada proliferasi sel endotel, vasokontriksi dan remodeling dengan
tanpa efek samping seperti batuk dan edem angioneurotik Dengan demikian pada penderita nefropati diabetika penghambat ACE,
antagonis reseptor AT1 dan -blockers merupakan piliian pertama untuk kontrol
hipertensi. Sedangkan rekomendasi ADA dalam pengelolaan hipertensi pada
penderita diabetes adalah penghambat ACE dan Antagonis reseptor AT1 untuk
mikroalbuminuria, Apabila disertai faktor resiko kardiovask uler dengan ada
ataupun tidak ada hipertensi p ilihannya adalah penghambat AC E. Untuk
Diabetes dengan Infark miokard akut pilihannya dalah -blockers. Penghambat
Ace, antagonis reseptor AT1, -blockers dan diuretika dapat dikombinasi satu
sama lain yang tidak segolonga n. Sedangkan Calsium antagonist merupakan
pilhan yang sangat tepat sebag ai terapi kombinasi tetapi buk an pengganti
penghambat ACE dan -blockers2,21
.

Kesimpulan

1. Hipertensi pada penderita DM tipe 2 menimbulkan percepatan kompilkasi
pada jantung dan ginjal.
2. Obat anti hipertensi Penghambat ACE, Antagonis reseptor Angi totensin
dan beta bloker merupakan pilihan pertama dalam pengelolaan hipertensi
pada penderita DM.
3. Dalam pengelolaan hipertensi pada DM makan tekanan darah diharapkan
mencapai nilai sesuai dengan target yang telah direkomendasikan.

Kepustakaan

1. International Diabetes Federation website
2. Haffner SM et al. N Engl J Med 1998;339:229–234
3. Assman G, Schulte H. Am Heart J 1988;116:1713–1724
4. Rutter MK et al. Circulation. 2003;107:458-454.
5. American Diabetes Association. Diabetes Care. 2003;26(suppl 1):S5-S20.
6. National Cholesterol Education Program, Adult Treatment Panel III, 2001.
JAMA 2001:285;2486–2497
7. P Py yö ör rä äl lä ä K K e et t a al l. . E Eu ur r H He ea ar rt t J J 1 19 99 94 4; ;1 15 5: :1 13 30 00 0– –1 13 33 31 1
8. Turner RC, et al. BMJ. 1998;317:703-713
9. Turner RC et al. Br Med J 1998; 316: 823-828
10. Pacy PJ et al. Diabetic Med 1985; 2: 125-130
11. Estacio R. Diabetes Obes Metab. 2001;3:472-476.
12. Tenenbaum A et al. Am J Cardiol. 1999;84:294-298.
13. Julius S. J Hypertens. 1997;15(suppl):S3-S10.
14. Weir et al. Am J Hypertens 1999;12:205S-213S.
15. Beers MH, Berkow R, eds. The Merck Manual of Diagnosis and Therapy.
17th ed. 1999:1629-1648.
16. Francis CK. In: Izzo JL Jr, Bl ack HR, eds. Hypertension Primer: The
Essentials of High Blood Pressure. 2nd ed. 1999:175-176.
17. Hershey LA. In: Izzo JL Jr, Black HR, eds. Hypertension Primer: The
Essentials of High Blood Pressure. 2nd ed. 1999:188-189.
18. Edmund J.Lewis, AJH,2002;15:123S-128S

Tidak ada komentar:

Posting Komentar